Tonny Koeswoyo

Penyanyi dan pencipta lagu asal Indonesia

Koestono bin Koeswoyo (19 Januari 1936 – 27 Maret 1987) atau Tonny Koeswoyo adalah pimpinan dari group Koes Bersaudara dan group Koes Plus. Tony dapat memainkan tiga alat musik yaitu piano, gitar, dan keyboard.

Tonny Koeswoyo
LahirKoestono
(1936-01-19)19 Januari 1936
Tuban, Hindia Belanda
Meninggal27 Maret 1987(1987-03-27) (umur 51)
Jakarta, Indonesia
Pekerjaan
Suami/istriAstrid Tobing (cerai)
Karen Julie
Anak5
Orang tua
  • Raden Koeswoyo (bapak)
  • Rr. Atmini (ibu)
Karier musik
Genre
Instrumen
Tahun aktif19521987
Label
  • Irama
  • Mesra Record
  • Remaco
Artis terkaitKoes Bersaudara, Koes Plus
Discogs: 1457121 Modifica els identificadors a Wikidata

Kehidupan awal

sunting

Tonny Koeswoyo adalah anak keempat dari sembilan bersaudara anak dari pasangan R. Koeswojo (Raden Koeswoyo) (10 Oktober 1895 – 6 Agustus 2000) dan Rr. Atmini (16 September 1900 – 3 Desember 1969) asal Tuban. Urutannya adalah:

  1. Tituk (perempuan) (15 Mei 1930), meninggal sewaktu bayi.
  2. Koesdjono (Djon alias John Koeswoyo) (5 Agustus 1932 – 2 Desember 2022).
  3. Koesdini (Dien ~ perempuan) (7 Oktober 1934).
  4. Koestono (Ton alias Tonny Koeswoyo) (19 Januari 1936 – 27 Maret 1987).
  5. Koesnomo (Nom alias Nomo Koeswoyo) (21 Januari 1938 – 15 Maret 2023).
  6. Koesyono (Yon alias Yon Koeswoyo) (27 September 1940 – 5 Januari 2018).
  7. Koesroyo (Yok alias Yok Koeswoyo) (3 September 1943).
  8. Koestami (Miyi ~ perempuan) (6 Januari 1945).
  9. Koesmiani (Ninuk ~ perempuan) (16 Januari 1947).

Dari silsilah keluarga, mereka termasuk generasi ke 7 keturunan (trah) Sunan Muria di Tuban. Ibu mereka adalah keponakan dari Bupati Tuban pada zaman penjajahan Belanda saat itu.

Masa kecil Tonny dilalui di Tuban bersama saudara-saudaranya. Pada mulanya ia biasa dipanggil dengan sebutan Ton. Namun akhirnya diubahnya menjadi Tonny agar telihat lebih gagah, sebagaimana wajahnya yang paling tampan di antara saudara-saudaranya. Pengalaman musikal Tonny telah mulai terasah ketika ia bergabung dengan suatu grup ludruk setempat di Tuban. Tahun 1952 keluarga Koeswoyo pindah ke Jakarta mengikuti mutasi Sang ayah berkarier sebagai pegawai negeri di Kementrian Dalam Negeri. Di Jakarta mereka sekeluarga menempati rumah di Jalan Mendawai III, No. 14, Blok C, Kebayoran baru, Jakarta Selatan.

Titisan darah musik menurun dari R. Koeswojo (Koeswoyo) sang ayah yang terampil memetik gitar dan bermain musik Hawaiian. Ketika berusia empat tahun di Tuban, Tonny bisa berjam-jam menabuh ember, baskom dan bejana-bejana lain yang diisi air dengan pemukul yang terbuat dari lidi yang ujungnya dipasangi bunga jambu yang masih kuncup. Di tangannya ember, baskom, dan lain-lain itu keluar suara yang unik. Saat memasuki usia akil balik, Tonny Koeswoyo tak mau lagi menabuh ember. Intuisi musiknya kian menderu-deru tanpa ada yang mampu menghalangi. Tonny lalu memohon minta dibelikan gitar, biola, dan buku-buku musik. Pak Koeswoyo tak memenuhi permintaan itu dengan alasan orang tak bisa hidup dari bermusik.

Sang ayah mengundurkan diri dari pekerjaannya dan bergabung dengan Bank Timur. Dia dipercaya mengelola onderneming (perkebunan) di Solo, Jawa Tengah dan memboyong keluarganya. Rumah mereka di Jakarta hanya di tempati oleh 4 anak laki-lakinya yang dipimpin oleh abang tertuanya Jon dan 3 adiknya, Tonny, Yon dan Yok. Adik Jon yang nomor 5 Nomo telah berpetualang sendiri ke Surabaya, bekerja di pabrik genteng. Jon khawatir ketiga adiknya yang bersamanya ini, Tonny, Yon, Yok, akan jadi crossboys dan ikut-ikutan tren berkelahi. Saat itu demam gang motor tengah berlangsung di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, maupun Surabaya. Karena ingin adik-adiknya memiliki “kegiatan positif”, Jon berinisiatif membelikan alat-alat musik bagi adik-adiknya. Waktu itu Jon sudah bekerja di Biro Yayasan Tehnik, sebelum kemudian pindah ke pembangunan Hotel Indonesia (HI). Ia membelikan alat musik itu untuk pemersatu adik-adiknya. Bersama Tony, Jon berangkat ke Solo. Waktu itu untuk urusan alat musik yang paling komplet adalah di Solo, tepatnya di Jalan Tembaga, Nonongan, Solo. Ia membelikan 1 bh bass betot, dua bh gitar pengiring, dan 1 set drum. Alat-alat musik itu dibeli dari gaji Jon dan ibu mereka yang memperoleh arisan. Jon dan ibunya sempat dimarahi ayahnya di Solo, karena dianggap akan merusak adik-adiknya. Namun mereka tetap berkeras hati membelinya, sehingga Sang Ayah menjadi luluh. Alat-alat itu lalu dibawa dengan kereta api ke Jakarta. Dari stasiun diangkut dengan truk ke HI, karena sang abang masih bekerja di HI.

Sejak itu Tony mulai serius belajar musik, sehingga ia bisa bermain gitar, ukulele, piano, dan suling. Kemampuan musiknya dipelajari secara otodidak dan mempelajari not balok dari Nick Manolov serta gaya pemetikan gitarnya mengikuti gitaris spanyol Carcasi dan Tjio Bun Tek - guru gitar klasik di Jakarta. Ia terus memainkan gitar itu siang-malam. Ia juga kerap mengikuti kegiatan di mana saja yang ada unsur musiknya. Kegiatan sekolah, mahasiswa, atau apapun yang ada musiknya, juga selalu diikutinya. Ketekunannya dalam bermusik membuat Tonny lupa belajar, sampai tidak naik kelas dan lulus ujian hingga tiga kali. Tony kemudian mengajarkan adik-adiknya, Yon dan Yok, bermain musik. Nomo adiknya yang baru pulang berkelana, juga akhirnya ikut-ikutan. Ketika Jon membelikan seperangkat alat musik untuk adik-adiknya, memang telah dibuat semacam perjanjian dengan Tony, bahwa dia hanya bermain dengan saudara-saudaranya (dengan adik-adiknya). Dari situ mulai solidlah Koes Bersaudara. Band ini berlatih dengan peralatan musik sederhana dan amplifier merek Robin buatan dalam negeri (buatan Jakarta). Rumah mereka pun berubah ramai setiap sore, karena orang-orang berkumpul mendengar hentakan musik. Hal ini masih kerap dikeluhkan ayah mereka, Koeswoyo, ketika pulang ke Jakarta dengan alasan musik tidak bisa bikin orang sejahtera. Hal tersebut tidak dipedulikan oleh Tony dan saudara-saudaranya yang lain, mereka terus saja bermain musik.

Tahun 1967 keluarga Koeswoyo pindah dari Jalan Mendawai III ke Jalan Sungai Pawan di lingkungan Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saat itu seluruh keluarga telah berkumpul kembali di Jakarta. Kemudian sejak 1970 mereka pindah ke jalan Haji Nawi, Cipete, Jakarta Selatan, yang kemudian dikenal sebagai Kompleks Koes Bersaudara sampai sekarang.

Karier

sunting

Band di Sekolah

sunting

Tonny Koeswoyo adalah seorang gitaris utama dan penulis lagu memulai kisah perjalanannya yang panjang dalam dunia musik secara serius sejak duduk di bangku SMA di Jakarta. Naluri bermusiknya begitu menggelora, sehingga ia menjadi gitaris utama dan dipakai Gibson ES untuk membentuk band di sekolahnya, yang diberi nama Gita Remaja bersama empat teman-temannya pada tahun 1952-1955. Kemudian ia mendirikan band Teenage's voice dan Teruna Ria dan menjadi penyanyi, gitaris utama dan pimpinan bersama temannya Jan Mintaraga pada vokal dan drum dan Sophan Sophian pada vokal dan bass. Band ini sering tampil diperhelatan remaja di sekolah-sekolah.[1] Pada tahun 1956, band tersebut kemudian mengganti namanya menjadi Irama Remaja. Pada tahun 1958, band ini pun akhirnya terpaksa dikuburnya, karena ia terbagi kesibukan dengan melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.

Koes & Bros

sunting

Pada tahun 1958 ia mencoba menggaet saudara-saudara kandungnya keluarga Koeswoyo yakni (abangnya Jon Koeswoyo pada Bass, Tonny Koeswoyo pada gitar, adiknya Nomo Koeswoyo pada drum, adiknya Yon Koeswoyo pada vokal, dan adiknya Yok Koeswoyo pada vokal). Tonny memberi nama bandnya Koes & Bros pada tahun 1958. Abangnya Jon Koeswoyo ikut bergabung dengan adik-adiknya dalam band keluarga ini di sela-sela pekerjaannya. Sementara adiknya Nomo baru bergabung belakangan, setelah pulang dari perantauannya. Pada masa permulaan grup terbaru anak-anak laki-laki Pak Koeswoyo itu masih terselip pula 3 buah nama dari luar keluarga Koeswoyo, yakni Jan Mintaraga (yang sekarang dikenal sebagai pelukis komik) berposisi sebagai gitaris, Tommy Darmo berposisi sebagai gitaris dan Iskandar yang berposisi sebagai pemain drum. Jan, Tommy dan Iskandar adalah tetangga mereka di Jakarta. Jan Mintaraga rumahnya hanya bertaut tiga rumah, sesekali ikut latihan dan menyanyi, bahkan sampai menginap. Ia suka mendengar lagu dari Radio Australia. Ketika menemukan lagu baru, ia datang dengan membawa catatan lagu-lagu baru. Iskandar membantu Nomo yang belum begitu mahir bermain drum, karena ia baru pulang dari berkelana.

Kus Brothers

sunting

Pada tahun 1960 Tonny mengubah nama grup ini menjadi Kus Brothers. Tonny meniru pola Everly Brothers di Amerika, karena menggunakan 2 penyanyi kakak beradik. Namun sebetulnya inspirasi Tonny terhadap duet Yon dan Yok itu adalah Kalin Twins, dua penyanyi Inggris bersaudara yang kembar. Di periode akhir tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an group musik di Indonesia umumnya lebih bangga menyanyikan lagu asing, tak terkecuali mereka. Tonny dan saudaranya pun latihan dengan menyanyikan lagu-lagu Barat yang sedang hits masa itu seperti dari Everly Brothers, Harry Belafonte, Kalin Twin, dan lainnya. Kala itu menyanyikan lagu Indonesia dianggap memalukan. Tonny dan saudaranya juga mengasah diri dengan mengamen di jalanan atau menjadi penghibur di acara ulang tahun dan sunatan. Bayaran tidak penting, yang jelas bisa belajar tampil di depan umum dan dapat makan-minum gratis. Adik perempuan mereka Miyiek pernah ikut menyanyi ketika saudaranya ngamen, dan senang ketika diberi bolpoin, sabun mandi, dan buku tulis. Meski ada juga tuan rumah yang memberikan uang. Sesekali Jan Mintaraga dan Tommy Darmo ikut Koes Brothers nanggap. Hanya saja, suaranya tak bisa tinggi, sumbang, dan ia suka angin-anginan karena sibuk belajar.[2]

Tahun 1962, Kus Brothers (Kus Bros) mencoba untuk masuk dapur rekaman. Adalah Tonny melontarkan gagasan membuat album rekaman. Suatu gagasan yang dianggap mustahil dan gila oleh saudara-saudaranya. Namun Tonny memberanikan diri karena ia berpikir akan membuat lagu sendiri alias tidak menyanyikan lagu Barat. Lewat perusahan PT Irama, milik Soejoso Karsono atau kerap dipanggil (Mas Yos) perusahaan rekaman terkenal saat itu. Mas Yos bersama supervisor musik Irama yang juga seorang masetro musik Jazz Jack Lesmana, menantang Tony untuk menyiapkan lagu dalam waktu dua minggu. Tony menerima tantangan itu. Demi mempunyai banyak waktu untuk mencipta lagu, Tonny bahkan memutuskan keluar dari tempatnya bekerja di Perkebunan Negara. Tonny kemudian konsentrasi menciptakan lagu. Dalam waktu satu minggu, dia berhasil menciptakan dua lagu: "Weni" dan "Terpesona". Abangnya Jon merekamnya dengan alat perekam Grundig yang pitanya sebesar piring. Dibantu Jan Mintaraga, Tony mengetik surat permohonan rekaman ke PT Irama. Hasil rekaman dikirim bersama surat permohonan ke PT Irama. Sesuai janjinya ia kembali dalam dua minggu.

Melihat hasil lagu yang dibawakannya, mas Yos dan Jack terkagum dan kemudian mengontrak Kus Brothers pada tahun 1962. Abangnya Jon pun memutuskan keluar dari pekerjaannya untuk mendukung penuh band keluarga ini. Kala itu Formasi Kus Bros yakni Tonny (gitar I), Jon (bas), Nomo (drum), Jan Mintaraga (gitar II), Tommy Darmo (gitar III), mengiringi duet vokal dan gitar Yon dan Yok. Nomo dibantu Iskandar pada Drum set, karena Nomo belum begitu mahir. Rekaman dilakukan dua track, harus langsung jadi dengan juru rekamnya Freddy Bulek. Namun baru tiga lagu Jan Mintaraga dan Tommy Darmo mengundurkan diri. Setelah keluar dari Kus Brothers, Jan Mintaraga ingin memilih melanjutkan sekolahnya di Jurusan Interior Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta sedangkan Tommy Darmo ingin memilih melanjutkan sekolahnya di Universitas Airlangga di Surabaya. Posisi Jan dan Tommy pada gitar ritme digantikan oleh John. Sementara bas dimainkan oleh Tonny sendiri dan gitar utama digantikan oleh Yok

Kus Bersaudara

sunting

Mas Yos menyarankan Tonny agar Kus Brothers yang sekarang anggotanya lima orang diganti namanya menjadi Kus Bersaudara karena dianggap kebarat-baratan. Tonny pun setuju, dengan nama baru inilah album pertama Tonny Koeswoyo beserta saudaranya diterbitkan pada tahun 1963. Album rekaman pertama Koes Bersaudara yang keluar pada tahun 1963 ini berisi 12 lagu, di antaranya: "Weni", "Terpesona", "Bis Sekolah", "Senja", dan "Telaga Sunyi". Ke-12 lagu Kus Bersaudara itu semuanya merupakan karya cipta Tonny Koeswoyo. Lagu-lagu mereka beredar luas ke telinga pendengar melalui Radio Republik Indonesia (RRI) dan Radio AURI Angkatan Udara. Kesuksesan album I ini berhasil mengeser popularitas lagu-lagu mendayunya Rahmat Kartolo dan Alfian yang saat itu mendominasi pasar musik di Indonesia. Pengamat musik mengatakan bahwa perhatian pendengar beralih kepada mereka.[3]

Koes Bersaudara

sunting

Meski sudah memiliki rekaman, kesejahteraan Koes bersaudara tak berubah. Honor mereka kala itu sangat kecil. Lagu-lagu mereka yang menjadi hits seolah tak memberikan pengaruh apa-apa. Mereka pun tetap mengamen sana-sini dan menghibur di acara perkawinan dan sunatan. Hingga beberapa waktu kemudian kakak tertua mereka Jon Koeswoyo memutuskan mengundurkan diri pada tahun 1964. Jon yang telah menikah memilih keluar dan memborong keluarganya ke Tuban, di sana dia bekerja sebagai nelayan. Setelah Jon mengundurkan diri, grup ini pun menyisakan 4 personel kakak beradik yang dipimpin oleh Tonny Koeswoyo. Tonny lalu mengganti nama kelompok musiknya menjadi Koes Bersaudara pada tahun 1964. Dalam formasi yang baru ini namun tinggal empat orang yang vocal tersebut Tonny kembali merangkap sebagai memegang gitar utama dan menjadi penyanyi, Yon tetap sebagai penyanyi utama disamping memegang alat musik rhythm gitar, Yok juga masih menjadi penyanyi disamping memegang alat musik bass gitar, dan Nomo pada drum dan penyanyi. Demikian juga musik dan vokal Yon dan Yok, dari gaya Kalin Twin dan Everly Brothers diubah ke The Beatles. Bahkan, mereka sampai merasa perlu berjas tanpa leher seperti yang dikenakan oleh John Lennon, Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr.

Grup ini meraih kesuksesan dalam beberapa album rekaman berikutnya selama beberapa tahun. Meski sudah memiliki lagu-lagu sendiri dalam bentuk rekaman, mereka masih dibayar dengan honor yang seadanya kalau menyanyi di panggung. Lagu-lagu Tonny Koeswoyo boleh saja populer, tetapi kehidupan ekonomi keluarga Koeswoyo tidak banyak berubah.

Masuk Bui

sunting

Pada tahun 1965 Koes Bersaudara menjadi kelompok musik sohor tanah air dan nyaris tanpa saingan sama sekali. Tapi Koes Bersaudara masih merasa perlu manggung secara berkala di gedung bioskop Megaria sebagai selingan pemutaran film atau di Restaurant International Airport Kemayoran dua kali seminggu.[2] Penonton yang berjubel dan tumpang tindih selalu merequest lagu-lagu dari Barat. Atas permintaan penonton ketika Koes Bersaudara manggung, mereka "terpaksa" membawakan lagu lagu The Beatles, Kalin Twins, Elvis Presley, The Rolling Stones, Ricky Nelson dan Everly Brothers. Meski Tonny tahu pemerintah memberlakukan Panpres Nomor 11 Tahun 1965 yang melarang musik “ngak- ngik-ngok” yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat, tetapi, Tony sulit mengelak permintaan penggemarnya.

Pada tanggal 25 Juni 1965 Koes Bersaudara bersama band Dara Puspita, Noor Bersaudara dan Quarta Nada, diundang ke sebuah pesta yang diadakan oleh Kolonel Koesno. Ketiga band top itu membawakan lagu-lagu Barat secara bergantian. Ketika Koes Bersaudara yang tampil terakhir baru saja mulai membawakan nomor The Beatles, I Saw Her Standing There, terjadi lemparan batu-batu yang menyasar ke atap rumah Kolonel Koesno. Diikuti teriakan-teriakan berbau kekiri-kirian seperti: “Ganyang Nekolim! Ganyang Manikebu! Ganyang Ngak-ngik-Ngok!” Pertunjukan pun terhenti seketika dan Koes Bersaudara dipaksa minta maaf. Tonny dengan tenang segera memenuhi permintaan itu dan dipaksa berjanji tak akan memainkan lagu ngak-ngik-ngok lagi. Setelah nama-nama personel dari band penghibur itu dicatat oleh pengunjuk rasa, semua yang hadir dalam pesta tersebut membubarkan diri.

Tonny, Nomo, Yon, dan Yok diperbolehkan pulang dengan perasaan lega. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 29 Juni 1965, keempat bersaudara Koeswoyo ini ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Glodok. Perintah penangkapan disertai sebuah Surat Perintah Penahanan Sementara Nomor 22/023/K/ SPPS/1965 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta dan ditandatangani L Aroen SH. Mereka dituduh Bung Karno sebagai penyebar Musik Ngak Ngik Ngok tak berbudaya Indonesia berbau Nekolim (Neo Kolonial dan Imprealis). Tonny dimasukkan satu sel bersama saudara-saudaranya, Nomo, Yon, dan Yok di Penjara Glodok pada hari itu juga tanggal 29 Juni 1965. Mereka dihukum oleh rezim Orde Lama Soekarno hanya karena memainkan lagu-lagu ngak-ngik-ngok (kebarat-baratan) yang terlarang masa itu (dianggap musik yang tidak mencerminkan bangsa Indonesia) dianggap berbahaya karena bisa meracuni jiwa generasi muda pada tahun 1965. Keempatnya mendekam di penjara tanpa proses pengadilan selama 3 bulan. Pihak kepolisian juga melarang lagu-lagu Koes Bersaudara beredar di masyarakat. Namun para penggemar Koes Bersaudara masih bisa mendengarkan lagu-lagunya melalui radio Singapura. Koes Bersaudara ditahan ketika lagu Pagi yang Indah menjadi top hit di seberang lautan.[2] Mereka akhirnya dibebaskan pada tanggal 29 September 1965 (tepat sehari sebelum pecahnya Gerakan 30 September PKI).

Sekeluar dari bui, situasi dalam penjara dipotret oleh Tonny melalui lagu Koes Bersaudara berikutnya. Pengalaman selama 100 hari itu dituangkannya ke dalam dua album Koes Bersaudara, Jadikan Aku DombaMu dan To The So Called The Guilties yang diterbitkan Dimita Moulding Company dengan label Mesra milik pengusaha berdarah Minangkabau Dick Tamimi. Di antaralagunya tersebut berjudul: Mengapa Hari Telah Gelap, Balada Kamar 15, Di dalam Bui, Jadikan aku Dombamu, Voorman, Untuk Ayah dan Ibu, dan lainnya direkam dalam plat ebonite, dan laku keras dipasaran.

Dalam pengakuan adiknya Yok Koeswoyo di depan publik acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV pada Kamis 11 Desember 2008), terungkap sebuah fakta yang selama ini dirahasiakan. Bahwa sebenarnya mereka dimasukkan penjara pada masa itu sebagai bagian untuk menjadikan Koes Bersaudara sebagai intelijen tandingan (counter intelligence) di Malaysia. Saat itu, Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. “Zaman dulu ada KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Kami direkrut oleh dia-dia, komandannya Kolonel Koesno dari Angkatan Laut. Dibikin seolah-olah pemerintah yang ada tidak senang sama kami, lalu kami ditangkap. Dalam rangka ditangkap inilah kami nanti secara diam-diam keluar dan eksodus ke Malaysia. Di sana kami dipakai sebagai counter intelligence. Namun, pas keluar dari penjara pada tanggal 29 November, meletus G30S,” cerita Yok.

Selepas itu karier bermusik Tonny dan adik-adiknya kembali berjalan. Dalam periode itu nyata sekali kelebihan mereka. Meski gaya Beatles masih mengganduli Koes Bersaudara tetapi sebagian besar lagu-lagu Tonny yang lahir sesudah lepas dari bui itu terpengaruh oleh band Bee Gees. Dalam rangkaian ini pula mereka menelurkan lagu-lagu berbahasa Inggrisnya seperti: Tree Little Word, The Land of Evegreen, dan The Old Man.

Koes Plus

sunting

Meski meraih kesuksesan dalam bermusik, Namun itu tidak bertahan lama. Kehidupan anggota group ini tetap dalam kesulitan ekonomi karena tak banyak menikmati keuntungan dari penjualan album-album mereka. Produktivitas Koes Bersauadara kemudian melemah kembali pada penghujung tahun 1960-an atau tepatnya pada era 1968 hingga 1969. Adiknya Nomo Koeswoyo berinisiatif meninggalkan posisinya sebagai penabuh drum pada tahun 1969. Ia memilih berusaha sampingan di luar bidang musik sebagai pedagang untuk menghidupi keluarganya, sehingga kerap meninggalkan latihan. Oleh Tonny Koeswoyo, Nomo disuruh memilih untuk fokus pada musik di Koes Bersaudara atau keluar. Sikap Tonny sangat tegas, karena ia ingin agar seluruh adik-adinya fokus pada musik. Bahkan ia sempat mengusir Nomo yang berbicara masalah bisnis mobil bersama temannya di luar studio ketika sedang latihan. Nomo bersikap lebih pragmatis dan memiliki prinsip yang berbeda dengan Tonny, karena saat itu ia telah menikah dan telah memiliki 1 orang anak.

Posisi drummer yang ditinggalkan Nomo Koeswoyo kemudian digantikannya dengan Kasmuri (dikenal dengan panggilan Murry). Murry adalah pemain gitar melodi penabuh drum asal Surabaya ex. Band Patas milik Kejaksaan. Murry direkomendasikan dari adiknya Yon Koeswoyo kepada Tonny lewat seorang temannya mantan gitaris Koes Brothers yang bernama Tommy Darmo dan mengajak juga bassist Medenaz dan The Pro's serta ayah tiga personel Bragi yakni Reza Ario Bima, Reinaldi Hutomo dan Rendi Khrisna sekaligus kawan lamanya Totok yang bernama Dimas Wahab. Dalam kesempatan itu sebenarnya Tommy Darmo hendak melamar menjadi drummer dan Dimas Wahab hendak memainkan bass yang ditinggalkan Nomo dan Yok. Akan tetapi Tommy dan Dimas yang berasal dari Surabaya ini dinilai tidak mempunyai skill yang memadai. Karena belum menemukan pemain drum yang pas, Tonny kemudian meminta tolong Dimas Wahab kepada seorang pemain gitar melodi dan penyanyi kawan lamanya yang bernama Totok Adji Rachman alias Totok AR. Totok juga merekomendasikan Murry kepada Tonny. Yon kemudian meminta tolong Tommy Darmo untuk membawa Murry ke tempat mereka, karena Tommy dan Dimas telah mengenal Murry dan Totok AR sejak dari Surabaya.

Keputusan Tonny mengeluarkan Nomo, mendapat reaksi keras dari adik laki-laki bungsunya Yok Koeswoyo. Sebagai bentuk simpatinya kepada Nomo, ia pun memilih mengundurkan diri. Yok berhenti karena tak mau bermain band dengan personel di luar Koeswoyo.[4] Keduanya sempat mengamuk dan melarang Tonny dan Yon untuk menggunakan alat musik drum dan bass milik mereka untuk band di luar mereka. Mereka juga sempat mengusulkan agar band dibubarkan saja. Lebih jauh mereka juga sempat mengancam Tommy Darmo dan Dimas Wahab karena dikira mengenalkan Murry dan Totok AR.[5] Namun Tonny tetap bersikukuh dengan keputusannya. Bahkan ketika ibu mereka wafat pada tahun 1969, tidak mengubah pendiriannya.

Di tengah situasi ekonomi sulit, pasca keluarnya Nomo dan Yok, keadaan ekonomi Tony Koeswoyo pun menurun. Ia bahkan sempat menjual radio satu-satunya miliknya untuk membeli becak guna menyambung hidup. Namun Tonny berusaha keras untuk tetap eksis di bidang musik. Ia pun mengambil keputusan cepat. Untuk posisi pemain bass ia kemudian merekrut Adji Kartono atau biasa disingkat Totok AR (Totok Adji Rahman) yang merupakan adik dari gitaris band wanita Dara Puspita yakni Titiek AR, dan Lies AR sekaligus kawan lamanya Dimas Wahab. Totok bukanlah orang baru di kalangan personel Koes Bersaudara karena sejak akhir tahun 60-an ia turut tinggal bersama band itu di markas mereka di Jalan Sungai Pawan No. 1 Jakarta. Sebelumnya, ia bermain gitar melodi dan mendirikan dengan grup band Phillon yang bermain gitar dan bernyanyi di Bandung, memainkan musik-musik rock asing dan Totok keluar dan membubarkan dari Phillon.

Bersama adiknya Yon, ditambah Murry (Kasmuri) dan Totok AR, ia membentuk group musik baru yang diberi nama sementara IRON, PEACE AND FREE. Nama itu tak bertahan lama. Kemudian ia pun terinspirasi dengan sebuah merek obat batuk kala itu APC PLUS . Hingga akhirnya Tonny pun memilih nama Koes Plus untuk nama Group band barunya ini dengan formasi awalnya terdiri dari Tonny, Yon, Totok AR, dan Murry. Demikian juga musik dan Group Tonny, Yon, Yok dan Nomo dari gaya The Beatles diubah ke Led Zeppelin. Bahkan, mereka sampai merasa perlu gondrong tanpa kepala seperti yang dikenakan oleh Jimmy Page, Robert Plant, John Paul Jones dan John Bonham. Maestro musik yang bernama asli Koestono ini seperti mendapat energi baru dengan masuknya Murry, sehingga kreatifitasnya tidak terbendung dengan menampilkan irama musik yang lebih bervariasi. Formasi ini mencoba merilis album untuk Koes Plus pada tahun 1969, meski tertatih-tatih karena belum belum dikenal dan sebagian alat musiknya pun terpaksa disewa dari luar.

Koes Plus mulai resmi muncul pada tahun 1969 lewat debut album Volume I Dheg Dheg Plas yang dirilis Dick Tamimi bersama label Dimita/Mesra. Begitu dibentuk, Koes Plus tidak langsung mendapat simpati dari pecinta musik Indonesia. Piringan hitam album pertamanya sempat ditolak beberapa toko kaset. Mereka bahkan mentertawakan lagu “Kelelawar” yang sebenarnya asyik itu. Hal itu membuat sebagian personel goyah, tetapi tidak bagi Tonny.

Murry sempat ngambek dan pergi ke Jember, Jawa Timur sambil membagi-bagikan piringan hitam albumnya secara gratis pada teman-temannya. Dia bekerja di pabrik gula sambil bermain band bersama Gombloh dalam grup musik Lemon Trees. Tonny kemudian menyusul Murry ke Jember untuk diajak kembali ke Jakarta. Baru setelah lagu “Kelelawar” diputar di RRI, orang lalu mencari-cari album pertama Koes Plus. Beberapa waktu kemudian lewat lagu-lagunya “Derita”, “Kembali ke Jakarta”, “Malam Ini”, “Bunga di Tepi Jalan” hingga lagu “Cinta Buta”, Koes Plus mulai mendominasi musik Indonesia waktu itu di tangga musik radio.

Pada album Koes Plus volume II pada tahun 1970, Tonny berhasil membujuk kembali adik laki-laki terkecilnya Yok untuk bergabung dengan Koes Plus. Sejak itu Yok pun resmi bergabung menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh Totok AR. Totok AR kemudian bergabung dengan band Pertamina.[4] Dalam kesempatan itu Tonny memang tidak mengajak adiknya Nomo untuk bergabung kembali. Ia telah menemukan form yang pas dari alur pukulan drum Murry yang sesuai gaya bermusiknya. Selain itu Murry juga bisa menciptakan lagu, sesuai dengan keinginan Tonny. Bersama Murry, mereka membesarkan grup Koes Plus. Dalam album II ini nama Koes Plus mulai dikenal. Koes Plus perlahan meraih kepopuleran dan mulai menjadi raja di kalangan band nasional.

Nama Koes Plus mulai dielu-elukan khalayak secara live setelah tampil membawakan lagu Derita, Selalu serta Manis Dan Sayang dalam acara Jambore Band di Istora Senayan November 1970. Saat itu Koes Plus tampil bersama band Panbers dan beberapa band sohor lainnya. Semua peserta menyanyikan lagu Barat berbahasa Inggris membawakan lagu Led Zeppelin, Grand Funk Railroad, Black Sabbath dan Deep Purple. Hanya Koes Plus yang berani tampil beda dengan menyanyikan lagu ciptaan sendiri berbahasa Indonesia. Sejak itu popularitas Koes Plus seolah tak terbendung, menggelegar, dan merajai industri musik Indonesia. Terlebih setelah Koes Plus berpindah ke label Remaco yang dipimpin Eugene Timothy. Koes Plus akhirnya menjadi mesin hits yang terus dipacu tiada henti oleh Remaco. Dalam catatan pada tahun 1974 Koes Plus merilis sekitar 24 album yang berarti setiap sebulan sekali Koes Plus merilis 2 album.

Periode 1970-an seolah menjadi era mereka. Pada tahun 1972-1976 udara Indonesia benar-benar dipenuhi oleh lagu-lagu Koes Plus. Baik radio atau orang pesta selalu mengumandangkan lagu Koes Plus. Barangkali tidak ada orang-orang Indonesia yang waktu itu masih berusia remaja yang tidak mengenal Koes Plus. Kapan Koes Plus mengeluarkan album baru selalu ditunggu-tunggu pecinta Koes Plus dan masyarakat umum.

Bahkan group ini berhasil merilis lebih dari 100 album berbagai jenis aliran musik seperti Pop, Dangdut, Melayu, Keroncong, Jawa, Folksong, Rock, Bosanova, Qasidah, Rohani Natal, Pop Anak-anak, dsb. Lagu-lagu mereka banyak yang menjadi hits yang melegenda sepanjang masa hingga saat ini. Lagu-lagu mereka hits di tangga lagu Indonesia, dinyanyikan semua umur, seperti Bujangan, Muda-Mudi, Kembali ke Jakarta, dan lainnya. Mereka juga menjadi bintang iklan beberapa produk terkenal seperti: minuman ringan F&N, mobil Toyota Kijang, sampul buku tulis, dsb.

Dukungan Keluarga

sunting

Keberhasilan Koes Plus merambah dunia musik tanah air menimbulkan simpati dari keluarganya. Dukungan dari keluarga besar Koeswoyo juga datang, termasuk dari ayahnya R. Koeswoyo (wafat di Jakarta, Selasa 8 Agustus 2000 pada usia 95 tahun). Ia cukup banyak menyumbangkan lagu (33 buah lagu) untuk album-album Koes Plus yang dinyanyikan secara apik seluruhnya oleh Yon Koeswoyo. Lagu-lagu ciptaan ayah mereka umumnya bergenre populer dan sebagian bernuansa keroncong. Diantaranya Muda-Mudi, Oh Kasihku, Keroncong Pertemuan, Layang-layang, Penyanyi Tua, Mari Mari Oe berterus terang, Jangan Bimbang Ragu, Nasib Penyanyi Butuh Uang, dsb.

Bersaing dengan No Koes

sunting

Adiknya, Nomo Koeswoyo yang sukses dalam bisnisnya, di kemudian hari tertantang kembali masuk ke dunia musik. Ia pun mendirikan grup musik sendiri bersama musisi lain di luar keluarga Koeswoyo pada permulaan era tahun 1970-an. Group band itu diberinya nama No Koes. Group ini pun terbilang sukses dan menjadi salah satu saingan berat dari kejayaan Koes Plus pada era awal tahun 1970an.

Reuni Koes Bersaudara

sunting

Pada tahun 1976-1977 popularitas Koes Plus mulai menukik ke bawah. Banyak yang menduga bahwa Koes Plus mengalami paceklik gagasan bermusik. Eugene Timothy mengajukan gagasan untuk menghidupkan kembali Koes Bersaudara. Selain itu juga telah lama ada desakan dari keluarga besar Koeswoyo yang prihatin melihat fenomena persaingan dua buah band yang diusung oleh saudara mereka. Juga keinginan penggemar lama mereka yang merindukan era kejayaan Koes Bersaudara pada tahun 1960-an.

Awal tahun 1977, Tonny Koeswoyo akhirnya bersedia menghidupkan kembali group musik Koes Bersaudara yang telah dikuburnya sejak tahun 1969. Ia memanggil kembali adiknya Nomo untuk kembali bersatu sebagai sebuah grup musik bersama adiknya Yon dan Yok. Keempat Koeswoyo bersaudara ini pun bertemu dan menyetujuinya. Kemunculan mereka ditandai lagu Kembali yang direkam di album Koes Bersaudara Seri Perdana tahun 1977. Lagu tersebut menjadi hits pada masa itu bahkan menjadi salah satu lagu pamungkas yang melegenda hingga kini. Kebersatuan mereka ini juga mendapat dukungan penuh dari keluarga besar Koeswoyo. Ayah mereka Koeswoyo Sr ikut menyumbangkan lagu berjudul Demi Cinta. Begitu pula abang tertua mereka Jon berkontribusi dengan sebuah lagu berjudul Haru dan Bahagia yang digarapnya bersama adiknya Yon. Nomo pun turut menggubah sebuah lagu berjudul Ayah yang mengungkapkan rasa hormatnya pada sang ayah yang berperan besar dalam menyatukan mereka.

Kesuksesan album ini kemudian diikuti 4 buah album berikutnya hingga tahun 1978. Dalam reuni ini, seluruh personel ikut menyumbangkan lagu dan sebagian menyanyikan sendiri lagu-lagu ciptaannya. Koes Bersaudara mulai era ini mencirikan setiap personelnya membuat lagu dan umumnya menyanyikan sendiri lagu ciptaannya. Namun album-album tersebut tenyata tak begitu sukses di pasaran. Popularitas grup Koes Plus yang sudah begitu kuat di pasaran era 1970-an tak bisa ditandingi oleh kembalinya Koes Bersaudara yang pernah populer pada era 1960-an. Grup ini akhirnya bubar secara tak resmi, Tonny bersama saudaranya Yon dan Yok kembali mengusung Grup Koes Plus bersama Murry.

Tahun 1979 - 1980 Koes Bersaudara mencoba kembali bersatu dengan dukungan keluarga yang sangat besar. Bahkan kali ini beberapa lagu disumbangkan oleh salah satu adik perempuan mereka Ninoek Koeswoyo. Mereka berhasil melempar 2 buah album ke pasaran. Namun penjualan album tersebut tak begitu sukses di pasaran, karena image Koes Plus masih kuat di mata penggemarnya. Grup ini pun kembali vakum selama beberapa tahun kemudian. Yon bersama saudaranya kembali kepada grup Koes Plus, sedangkan Nomo berkarier sebagai penyanyi solo sembari menekuni bisnisnya yang cukup sukses di kala itu.

Pada tahun 1986 Koes Bersaudara kembali bersatu dan mengeluarkan 6 buah album pada tahun 1987. Grup ini sempat meraih kesuksesan dengan lagu "Kau Datang Lagi" pada album yang sama yang direkam tahun 1987. Namun kebersamaan mereka tak berlangsung lama, karena pada tahun 1987 itu pula Tonny Koeswoyo menderita sakit parah, hingga akhirnya meninggal dunia.

Sebelum meninggal, Tonny Koeswoyo bersama Koes Bersaudara sempat merilis album “Dia Permata Hatiku” dan tampil bersama 2 keponakannya yang juga menjadi penyanyi cilik populer masa itu yakni Chicha Koeswoyo dan Sari Yok Koeswoyo di acara Selekta Pop Artis Safari TVRI.

Sepeninggal Tonny, ketiga adik laki-lakinya masih sempat mengeluarkan 8 buah album pada tahun 1988 dan 2 buah album pada tahun 2000 Koes Bersaudara. Album tersebut sebagian berisi lagu-lagu yang dibuat sebelum Tonny wafat dan belum sempat dikeluarkan dalam album sebelumnya. Uniknya ada sebuah album Koes Bersaudara yang berjudul Country Pop yang dirilis tahun 1988, dengan formasi Yon, Yok, Nomo, dan Murry.

Koes Plus Pasca Kematian Tonny

sunting

Sebelum meninggal Tonny sempat berwasiat kepada adiknya untuk meneruskan keberadaan Band Koes Plus. Para personel Koes Plus yang tersisa tetap merekam album-album seperti AIDS (1987), Pop Melayu Amelinda (1991). Namun penjualan album-album tersebut tak semeledak pada era 1970-an. Hingga akhirnya pada tahun 1993, band ini kembali menggebrak publik tanah air dengan berbagai show come backnya. Dari situ terlihat bahwa band ini masih memiliki begitu banyak penggemar setia yang merindukan masa keemasan mereka terbukti dengan membludak dan suksesnya show Koes Plus walaupun tiket yang dijual begitu mahal pada awalnya.

Band Koes Plus masih tetap eksis hingga saat ini meski telah berkali-laki ganti formasi, menyusul pengunduran diri Yok karena alasan kesehatan pada tahun 1997 dan kemudian Murry tahun 2004 dengan alasan serupa. Hingga kini Koes Plus hanya menyisakan Yon Koeswoyo sebagai satu-satunya keluarga Koeswoyo yang setia mengibarkan panji kebesaran Koes Plus dengan personel barunya yang seluruhnya berusia sangat muda. Kesuksesan perjalanan karier Koes Plus diakui para tokoh dan pengamat musik nasional sehingga mulai Agustus 1992 Koes Plus hampir selalu mendapat penghargaan BASF AWARD secara rutin.

Gaya bermusik dan pengaruh

sunting

Sejarah musik Indonesia mencatat bahwa tradisi membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi yang diciptakan oleh Koes Bersaudara. Koes bersaudara merupakan pelopor mencipta dan merekam lagu berbahasa Indonesia. Kemudian tradisi ini dilanjutkan Koes Plus dengan album seri volume 1, 2 dan seterusnya. Meskipun mulanya Koes Bersaudara dan juga Koes Plus berkiblat pada musik barat, tetapi suatu waktu Tonny Koeswoyo berseru agar musisi Indonesia jangan segan menggali kekayaan seni Musik Tradisional Indonesia. Dan ia benar benar-berhasil membuktikan dengan keberhasilannya meramu musiknya dengan warna lokal / tradisional Indonesia. Hingga hari ini sulit ditemukan musisi sekonsistensi Tonny dalam beridealisme. Hal ini dibuktikannya dengan sejumlah album Pop Indonesia, Pop Jawa, Pop Melayu, Pop Keroncong, kemudian "diversifikasi" menjadi Album Anak-anak, Natal, Qasidah, Another Song for You (bahasa Inggris), Album In Hard Beat, dan Folksong.

Tonny sangat piawai dalam melahirkan lagu dan syair berkualitas karena memiliki wawasan yang luas. Dengan berbekal bacaan filsafat yang bersumber dari Al Qur'an, Injil, Gitanjali, Bhagawad Gita, Vivekananda, dan lain sebagainya, menyebabkan lirik lagu yang dia ciptaan memiliki bobot.

Tidak hanya tema cinta yang diusung oleh Tony Koeswoyo, tetapi merambah pada tema Ke-Tuhan-an, tema Nasionalisme, Keindahan Alam, dan lain-lain.

Kelebihan Koes Bersaudara pada saat itu ada pada diri Tonny Koeswoyo. Ia meramu musik Koes Bersaudara dengan resep Simple is beautiful - Sederhana itu indah. Walaupun pada waktu itu telah berujung beberapa kali sempat menimbulkan pendapat miring bagi pengamat musik, konsep mencipta lagu yang berlirik sederhana, dan easy listening, menjadikan lagu Koes Bersaudara dan Koes Plus bertahan hingga 6 dasawarsa, dan tidak mustahil menjadi "lagu rakyat" sepanjang masa. Ia juga menciptakan lirik yag indah serta penuh makna dengan gaya bahasa yang sederhana, komunikatif, tetapi penuh arti. Koes Bersaudara banyak menggunakan syair yang memiliki ritme (sajak persamaan bunyi) sehingga enak dibaca dan didengarkan. Hal itu juga dipengaruhi oleh kesukaannya membaca buku-buku sastra karya Chairil Anwar dan Yasunari Kawabata. Tak hanya itu, Tonny sebagai otak Koes Bersaudara tidak meninggalkan faktor metre (banyaknya kata dalam satu baris) dan harus tepat tekanan kata pada birama, serta notasi lagu harus sesuai dengan arti kata syair tertentu.

Untuk mempertahankan originalitas lagu dan musik Koes Bersaudara, pada mulanya Tonny melarang adik adiknya membuat lagu. Meski ia kemudian berubah pikiran dengan mendorong adik-adiknya untuk ikut menciptakan lagu untuk band mereka. Ia juga sempat melarang Nomo Koeswoyo (drummer) belajar memukul drum kepada Domingo Roda di Kemayoran yang gaya bermainnya tidak sesuai dengan konsep bermusik Tonny. Kedisiplinan, ketelatenan, dan keoptimisan Tonny Koeswoyo mengasah talenta adik-adiknya bermusik dan bernyanyi menghasilkan kesuksesan show Koes Bersaudara. Hal tersebut berlanjut pada masa Koes Plus, Lagu-lagu mereka benar-benar enak didengar dan bermutu, menjadi sesuatu yang akrab di telinga pencinta musik tanah air, menjadi lagu yang sering diputar dalam siaran radio dan banyak dinyanyikan dalam berbagai acara pesta.

Lagu-lagu ciptaannya banyak didaur ulang oleh penyanyi pada era setelah kematiannya. Diantaranya Chrisye yang menyanyikan lagu ciptaan Tonny koeswoyo Cintamu tlah Berlalu dalam salah satu albumnya mengatakan lirik yang dibuat Tonny Koeswoyo sangat dalam dan puitis. Lex's Trio membuat album yang khusus menyanyikan ulang lagu-lagu Koes Plus. Penyanyi alm. Richie Ricardo tercatat pernah menyanyikan ulang lagu Bus Sekolah. Lagu Manis dan Sayang yang dibawakan oleh Kahitna. Juga penyanyi belia Marshanda sempat mempopulerkan kembali lagu Kisah Sedih di Hari Minggu. Lagu Andaikan Kau Datang sempat dipopulerkan kembali oleh Ruth Sahanaya, Ariel Noah maupun Andmesh Kamaleng. Lagu itu menjadi lagu favorit Presiden RI VI Susilo Bambang Yudhoyono yang kerap dinyanyikannya dalam berbagai kesempatan di Istana Negara. Pada tahun 2004 telah sukses digelar konser besar Salute to Koes Plus/Bersaudara yang digagas oleh komposer Erwin Gutawa, yang melibatkan penyanyi-penyanyi terkenal pada era milenium II seperti: Harvey Malaiholo, Armand Maulana, Audy, Glenn Fredly, Ruth Sahanaya, Andy /rif, Duta Sheila on7, dsb.

Selain itu tidak sedikit group musik nasional sejak era 1980-an hingga saat ini yang khusus membawakan ataupun kerap membawakan lagu-lagu Koes Bersaudara dan Koes Plus di berbagai show mereka. Tidak sedikit pula pengamat musik asing yang memujinya dan menjadi penggemarnya. Diantaranya adalah Allan Bishop dari Amerika yang bahkan mengkoleksi semua album Koes Bersaudara dan Koes Plus.

Kehidupan pribadi

sunting

Meski telah memutuskan untuk hidup dari musik, tetapi Tonny tetap berusaha memenuhi harapan kedua orang tuanya untuk meneruskan sekolah hingga sampai ke Perguruan Tinggi. Pendidikan terakhir yang sempat ditempuhnya adalah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta IKIP Jakarta (sekarang UNJ) jurusan Sastra Inggris namun tidak selesai meski sudah tingkat persiapan. Di tempat kuliah, ia rajin mengikuti berbagai kegiatan kesenian mahasiswa yang diadakan di kampusnya. Dalam situasi negara yang sedang mengalami krisis politik berat pada era Orde Lama, ia pun sempat ikut aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Ia aktif dalam organisasi (Himpunan Mahasiwa Islam) (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Di sana terlihat jelas 2 sisi pribadinya yang kuat yaitu unsur religiusitas dan nasionalisme.

Jiwa nasionalisme yang kuat tercermin dari seri lagu Nusantara 1-8 yang terdapat dalam beberapa album Koes Plus. Bersama Koes Plus, Tonny pernah menjalankan misi rahasia dengan Pemerintah Orde Lama dalam rangka Operasi Ganyang Malaysia. Begitu pula dengan Pemerintahan Orde Baru, dengan bermain di Bandara Dili, Timor Timur menjelang masuknya tentara Indonesia ke wilayah bekas jajahan Portugis tersebut pada 1975. Dalam rangka “proyek politik” ini, lahir lagu semacam Diana (lagu itu bercerita mengenai putri petani, bernama Diana ~ Diana adalah nama yang tidak umum untuk petani di Jawa.) Selain itu juga lagu Da Silva yang terlihat jelas unsur Latinnya.

Tonny sempat bekerja pada instansi Perkebunan Negara, tetapi tidak lama. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk fokus pada musik saat ditantang untuk menciptakan lagu sendiri sebagai syarat untuk masuk dapur rekaman. Di dalam kesuksesannya bermusik, ia pun tak melupakan jasa abangnya Jon Koeswoyo. Tonny dan adik-adiknya kerap membantu kehidupan keluarga sang abang dengan menyisihkan sebagian penghasilan mereka.

Tonny menikah dua kali. Pertama ia menikah dengan Astrid Tobing, seorang wanita berdarah Tapanuli Utara asal Sumatera Utara. Namun pernikahan ini berujung perceraian. Dari Pernikahan ini Tonny memperoleh 3 orang anak Ken Angelina, Eki Diparamita, dan Damon Wicaksi Wangsa. Damon (Damon Koeswoyo) mengikuti jejak Tonny sebagai gitaris dan sempat memperkuat grup Koes Plus formasi baru pada tahun 1994. Selanjutnya Damon membentuk kelompok Dadakoe bersama saudara sepupunya, David Koeswoyo, putera Yon Koeswoyo.

Tonny kemudian menikah lagi dengan seorang wanita berbeda keyakinan asal Amerika yang bernama Karen Julie. Kekagumannya kepada istrinya ini sempat ia tuangkan dalam sebuah lagu yang berjudul sama dengan nama istrinya. Dari pernikahan keduanya ini ia memperoleh 2 orang anak yaitu Kirsty Koeswoyo (putri) dan Cleo Koeswoyo (putra) yang sekarang tinggal di Inggris bersama Karen Julie. Meski Tonny sendiri seorang Muslim, tetapi berkeluarga dengan pasangan dan anak cucu dari latar belakang yang beragam turut mewarnai perjalanan hidupnya.

Filmografi

sunting
Tahun Judul Peran Keterangan
1972 Bing Slamet Setan Djalanan Sebagai Koes Plus
1973 Ambisi

Kematian dan warisan

sunting

Tonny Koeswoyo tutup usia di Jakarta pada hari Minggu tanggal 27 Maret 1987 pada umur 51 tahun karena penyakit kanker usus yang mengakhiri hidupnya. Penyakit yang lama diabaikannya karena totalitasnya dalam bermusik. Intensitas bermusik yang tinggi menyebabkan raganya terlupakan. Tonny meninggal dengan tenang di hadapan keluarganya. Ia dituntun oleh abang tertuanya Jon Koeswoyo ketika menghadap Sang Khalik.

Tony Koeswoyo meninggal dalam keadaan tidak memiliki kekayaan berlimpah untuk menghidupi keluarganya. Istrinya bahkan sampai bekerja sebagai pengajar Bahasa Inggris pada sebuah TK Internasional di Pondok Indah Jakarta. Biaya perawatannya di Rumah sakit ditanggung oleh adiknya Nomo Koeswoyo. Beberapa sahabat sesama artis juga sempat memberikan batuan dana. Diantaranya Eddy Sud, koordinator artis Safari yang memberikan sumbangan sebanyak Rp 2,5 juta.

Saat menjalani perawatan di RS Setia Mitra, ketika penyakit yang diderita semakin parah, hasrat sebagai seorang musisi tidak sedikit pun berkurang. Ia dibantu oleh pemusik Onny Suryono, yang juga kawan akrabnya untuk membantu memegang gitar saat Tonny menemukan ide sebuah lagu. Terciptalah beberapa lagu yang terasa seakan merupakan warisan terakhir Tonny Koeswoyo sebagai seorang musisi. Cakrawala Hati, Dewi Sri, Nenek Sayang dan Wit Gedhang. Lagu itu seakan menjadi saksi sisa-sisa kedahsyatan seorang musisi yang merupakan revolusioner musik pop Indonesia.

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting