Kesultanan Palembang

kesultanan Melayu di Asia Tenggara

Kesultanan Palembang (secara rasmi Kesultanan Palembang Darussalam) adalah satu kerajaan Melayu Islam atau kesultanan di negeri Sumatera Selatan yang mempunyai ibu bandar di Palembang. Kesultanan ini ditubuhkan oleh bangsawan Palembang bernama Sri Susuhunan Abdurrahman[1] Kesultanan ini dihapuskan oleh penjajahan kerajaan Belanda tahun 1823 pada masa kekuasaan raja Ahmad Najamuddin dan bangkit kembali pada tahun 2006 sebagai simbol adat.

Kesultanan Palembang
Bekas keberajaan
Raja pertama Sri Susuhunan Abdurrahman
Raja terakhir Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin
Keberajaan bermula 1659
Keberajaan tamat 1823, abad 21

Seorang pengembara dan ahli geografi berbangsa Perancis, Malthe Conrad Bruun (1755-1826) pernah melancong ke kesultanan ini, dan dia menggambarkan bahawa masa itu sudah ramai bangsa yang duduk pada wilayah kesultanan ini; iaitu bangsa Etnik Melayu (bangsa peribumi), Jawa, Cina, Siam, Minanga, dan lain-lain. Dia ada sebut pula kalau bangunan yang diperbuat daripada batu bata amnya merangkumi bangunan-bangunan kerajaan macam istana, vihara, dan lain-lain.

Kekuasaan

sunting

Kesultanan yang pernah berkuasa dari tahun 1659 - 7 Oktober 1823[2] ini ialah Kesultanan terbesar di Sumatera Bahagian Selatan. Daerah Kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam ini sekarang mencakup Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu (dulu Bangka Hulu), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Jambi dan Provinsi Lampung[3]. Diluar Sumatera, pengaruhnya dirasakan sampai di Kesultanan Banten[4], Kesultanan Demak[5] dan Kerajaan Blambangan[6] di Banyuwangi. Sedangkan dalam Kesultanan Kubu, Kesultanan Palembang Darussalam menikah dengan Yang dipertuan Besar Kubu I, Sayyid Idrus melakukan pernikahan dengan putri Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama[7]. Dalam Tarsilah Kesultanan Brunei Darussalam, disebutkan bahwa Tumenggung Mancanegara (Pangeran Manchu Negoro) yang merupakan kakek dari Sultan Abdurrahman, pendiri kesultanan Palembang Darussalam adalah isteri dari Sultan Brunei, Sultan Abdul Jalilul Akbar, dengan masa periode pemerintahan 1598-1659.[8]

Pendirian

sunting

Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan[9] disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[10] Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.

Selanjutnya berdasarkan kronik China nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugal menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Melaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugal. Kemudin pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh kesultanan Banten. Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari awal adalah Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601 telah ada hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.[11]

Kuto Gawang

sunting

Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).

Beringin Janggut

sunting

Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.

Kuto Tengkuruk

sunting

Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.

Kuto Besak

sunting

Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288.75 meter, lebar 183.75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1.99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Ekonomi

sunting

Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.[12]

Peperangan

sunting

Maklumat Selanjutnya: Perang Menteng

Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, namun beliau menolak bekerja sama dengan England, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.[13]

Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate.[13] Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, di tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.[13]

Senarai Sultan Palembang

sunting
No Periode Foto Nama Penguasa
Sebagai Kerajaan Palembang
1 1455-1486 Ario Damar/Ario Dillah
2 1547 - 1552 Pangeran Sedo Ing Lautan
3 1552-1573 Kiai Gede ing Suro Tuo
4 1573-1590 Kiai Gede ing Suro Mudo (Kiai Mas Anom Adipati Ing Suro)
5 1590-1595 Kiai Mas Adipati
6 1595-1629 Pangeran Madi Angsoko
7 1629-1630 Pangeran Madi Alit
8 1630-1639 Pangeran Sedo in Puro
9 1639-1650 Pangeran Sido ing Kenayan
10 1651-1652 Pangeran Sido Ing Pesarean
11 1652-1659 Pangeran Seda ing Rajek
Sebagai Kesultanan Palembang Darussalam
12 1659-1706 Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Bin Pangeran Sido Ing Pesarean
13 1706-1714 Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago Bin Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam
14 1714-1724 Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno Bin Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam
15 1724-1758 Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo Bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago
16 1758-1776 Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo Bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo
17 1776-1803 Sultan Muhammad Bahauddin Bin Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo
18 1803-1821
 
Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin (Versi Belanda : SMB II ) Bin Sultan Muhammad Bahauddin
19 1813-1817 Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin (Versi Inggris : Sultan Ahmad Najamuddin II) Bin Sultan Muhammad Bahauddin
20 1819-1821 Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu Bin Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin (Versi Belanda : SMB II )
21 1821-1823 Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom Bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin (Versi Belanda : Sultan Ahmad Najamuddin II)
22 2006-sekarang
 
Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin Bin Raden H. Muhammad Harun


Rujukan

sunting
  1. ^ Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. m/s. 441.
  2. ^ Kisah Berdiri dan Hancurnya Kesultanan Palembang Darussalam di Indephedia
  3. ^ Bincang-Bincang bersama SMB IV di RRI Net Palembang
  4. ^ Hubungan Kesultanan Banten dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  5. ^ Hubungan Kesultanan Demak dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  6. ^ Kyai Saleh Lateng Islamkan Kerajaan Blambangan
  7. ^ Hubungan Kesultanan Kubu dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  8. ^ Hubungan Kesultanan Brunei Darussalam dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  9. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  10. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  11. ^ Poesponegoro, M.D. Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. m/s. 46.
  12. ^ Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. m/s. 139.
  13. ^ a b c Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. m/s. 140.

Bacaan Lanjut

sunting
  • Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. Edinburgh: Balfour & Clarke.
  • Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4.
  • Ricklefs, M.C. (1993). A history of modern Indonesia since c. 1300. California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2194-7.
  • Poesponegoro, M.D. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-409-8. Unknown parameter |coauthor= ignored (|author= suggested) (bantuan)

Pautan luar

sunting