Jump to ratings and reviews
Rate this book

Laut Bercerita

Rate this book
Jakarta, Maret 1998

Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

Jakarta, Juni 1998

Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.

Jakarta, 2000

Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan akan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

380 pages, Paperback

First published October 23, 2017

Loading interface...
Loading interface...

About the author

Leila S. Chudori

14 books859 followers
Leila Salikha Chudori adalah penulis Indonesia yang menghasilkan berbagai karya cerita pendek, novel, dan skenario drama televisi.Leila S. Chudori bercerita tentang kejujuran, keyakinan, dan tekad, prinsip dan pengorbanan. Mendapat pengaruh dari bacaan-bacaan dari buku-buku yang disebutnya dalam cerpen-cerpennya yang kita ketahui dari riwayat hidupnya ialah Franz Kafka, pengarang Jerman yang mempertanyakan eksistensi manusia, Dostoyewsky pengarang klasik Rusia yang menggerek jauk ke dalam jiwa manusia. D.H Lawrence pengarang Inggris yang memperjuangkan kebebasan mutlak nurani manusia, pengarang Irlandia James Joyce, yang terkenal dengan romannya Ullysses. Suatu pelaksanaan proses kreatif Stream of Consciousnes, Herman Jesse, Freud, Erich Fromm, A.S. Neill. Maka tidak mengherankan apabila Leila S. Chudori memperlihatkan tokoh-tokoh cerita yang mempunyai kesadaran yang dalam dan hasrat jiwa yang bebas merdeka. Leila S. Chudori pun tak asing dengan Baratayudha, Ramayana dari dunia pewayangan. Leila S. Chudori juga menggunakan imajinasinya untuk meruyak ruang dan waktu, penuh ilusi dan halusinasi, angan-angan dan khayalan. Leila melukiskan kejadian-kejadian secara pararel dan simultan, berbaur susup menyusup untuk saling memperkuat kesan pengalaman dan penghayatan. Leila juga mensejajarkan pengalaman pribadi, membaurkannya dengan cerita mitologi. Dengan teknik pembauran seperti ini, terjadi dimensi baru dalam pengaluran cerita. Satu hal lain yang istimewa dalam cerpen-cerpen Leila bahwa dia tidak ragu-ragu menceritakan hal-hal yang tabu bagi masyarakat tradisional. Gaya cerita Leila S. Chudori intelektual sekaligus puitis. Banyak idiom dan metafor baru di samping pandangan falsafi baru karena pengungkapan yang baru.

Leila terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di "Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges)" di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada.
Sejak tahun 1989 hingga kini bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo. Di tahun-tahun awal, Leila dipercayakan meliput masalah internasional—terutama Filipina dan berhasil mewawancarai Presiden Cory Aquino pada tahun 1989, 1991 di Istana Malacanang; Fang Lizhi seorang ahli Fisika dan salah satu pemimpin gerakan Tiannamen, Cina, WWC di Cambrige Universitypada tahun 1992, Presiden Fidel Ramos di Manila pada tahun 1992, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Jakarta, pada tahun 1992, Pemimpin PLO Yasser Arafat pada tahun 1992 dan 2002 di Jakarta, Nelson Mandela pada tahun 1992 di Jakarta, dan Pemimpin Mozambique Robert Mugabe pada tahun 2003, di Jakarta. Kini Leila adalah Redaktur Senior Majalah Tempo, bertanggung-jawab pada rubrik Bahasa dan masih rutin menulis resensi film di majalah tersebut.

Karya-karya awal Leila dimuat saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul "Sebuah Kejutan", "Empat Pemuda Kecil", dan "Seputih Hati Andra". Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, majalah sastra Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Buku kumpulan cerita pendeknya Malam Terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht (Horlemman Verlag). Cerpen Leila dibahas oleh kritikus sastra Tinneke Hellwig “Leila S.Chudori and women in Contemporary Fiction Writing dalam Tenggara”, Tineke Helwig kembali membahas buku terbaru Leila, “9 dari Nadira” dan mengatakan bahwa buku ini memiliki “authencity in reality” dan mengandung “complex narrative”. Nama Leila S. Chudori juga tercantum sebagai salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra "Dictionnaire des Creatrices" yang diterbitkan EDITIONS DES FEMMES, Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dunia seni.

Pada tahun 2013 Leila S. Chudori memenangkan Kh

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
12,434 (69%)
4 stars
4,495 (25%)
3 stars
824 (4%)
2 stars
110 (<1%)
1 star
66 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 3,559 reviews
Profile Image for Daniel.
1,170 reviews789 followers
March 8, 2022
Leila S. Chudori
Laut Bercerita
Kepustakaan Populer Gramedia
389 halaman
9.2 (Best New Book)

Ketika saya akhirnya berhasil menutup Laut Bercerita, belum pernah saya menangis sekencang ini sejak mendengarkan album Dunia Milik Kita milik Dialita. Dialita atau di atas lima puluh tahun adalah sekelompok paduan suara yang terdiri atas para wanita penyintas atau anak-anak dari para penyintas tahanan politik PKI pada tahun 1965. Para wanita ini ditahan, disiksa, dan diperkosa karena dugaan keterlibatan mereka dengan komunisme. Mereka diasingkan ke Plantungan dan menerima perlakuan keji yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi. Tetapi dalam masa penahanan mereka, mereka menemukan secercah cahaya lewat lagu-lagu yang ditulis di dalam penjara, lagu-lagu yang dilarang pemerintah untuk dinyanyikan, sampai akhir tahun lalu, ketika musisi lokal--seperti Frau, Sisir Tanah, dan Cholil Mahmud--yang tergerak untuk mengangkat kisah mereka yang dibungkam ini memutuskan untuk menyanyikan lagu-lagu terlarang tersebut dan mengemasnya ke dalam Dunia Milik Kita. Suara para wanita yang semakin menua ini terdengar begitu getir dan pahit, saat mereka mengenang masa lalu yang mereka atau ibu mereka pernah alami, tetapi ada harapan yang terselip dari suara mereka, ada berkas cahaya krepuskular yang menyelusup dari awan gelap. Rasanya muskil untuk mendengar album ini tanpa menangis. Dan dalam satu hal, naratif dari Dunia Milik Kita ini serupa dengan naratif Leila S. Chudori pada Laut Bercerita.

Meski lini masa antara Dunia Milik Kita dan Laut Bercerita terpaut tiga puluh tahun, dan Chudori sudah pernah menarik benang merah antara masa 1965 dan masa kejatuhan orde baru dalam Pulang, keduanya mengangkat dua masa terkelam pelanggaran hak asasi manusia yang pernah dialami negara ini, catatan hitam yang setiap orang enggan untuk membuka dan mengakuinya. Ketika pemerintah lebih memilih untuk mengabaikan kalau noda gelap itu ada, Chudori memutuskan untuk menarik keduanya kembali, untuk mengingatkan bahwa masa lalu yang gelap itu memang sungguh pernah terjadi dan itu memang hal yang buruk, tetapi kita tidak boleh memungkiri bahwa kejadian itu pernah terjadi, menutup telinga agar tidak dapat mendengar teriakan dan tangisan orang-orang yang hak asasinya dirampas.

Laut Bercerita sendiri terjadi saat masa-masa orde baru, ketika hak manusia untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul dirampas dan dicap sebagai kegiatan yang subversif oleh pemerintahan orde baru. Masa-masa orde lama dan orde baru--meski terlampau tiga dekade lebih--memiliki pola yang sama. Masyarakat hidup dalam cengkeraman ketakutan, mulut mereka disumpal oleh ancaman penjara dan pembunuh misterius. Mayat yang mengambang di kali atau tergeletak di pinggir jalan sudah menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat. Surat kabar, majalah, dan buku-buku yang berani vokal atau berhaluan kiri dibredel dan tak boleh dibaca. Hanya para mahasiswa yang berani mendambakan Indonesia yang lebih demokratis, Indonesia yang lebih bebas. Salah satunya adalah Biru Laut, seorang mahasiswa sastra Inggris dari UGM. Awal pertemuannya dengan seorang gadis mungil bernama Kasih Kinanti di tempat fotokopi buku-buku terlarang membawanya terlibat dalam Winatra dan Wirasena, kegiatan mahasiswa yang mendambakan hal serupa. Di sana ia bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan, kawan-kawan yang berani bergerilya melawan pemerintahan yang lalim. Mereka tidak bersenjatakan senjata api, tetapi hanya biji jagung. Mereka memihak rakyat kecil, mereka memihak rakyat Indonesia.

Tetapi mereka terlibat dalam hal yang berbahaya. Pemerintah berusaha untuk menangkap mereka, menyiksa mereka dengan setrum, dan mengintimidasi mereka, tetapi para mahasiswa ini tak kenal gentar. Mereka terus berjuang sampai akhirnya organisasi mereka dianggap berbahaya dan Laut terpaksa menjadi buron bersama dengan teman-temannya: Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, Kasih Kinanti, dan lusinan temannya yang lain. Siksaan yang mereka alami jauh lebih hebat. Dihajar, disiram dengan air es, dipukul, dan penyiksaan yang paling menyakitkan adalah melihat teman mereka ternyata adalah seorang pengkhianat. Tak lama sebelum presiden lengser, para tahanan mulai dibebaskan. Namun, dari 22 mahasiswa yang ditahan, hanya sembilan orang yang kembali. Tiga belas orang sisanya, termasuk Laut, entah di mana.

Laut Bercerita diceritakan melalui dua sudut pandang: Laut dan adik perempuannya yang cerdas, Asmara. Laut menceritakan masa-masa perjuangannya sebelum akhirnya diculik dan ditenggelamkan ke dalam laut, sementara Asmara menceritakan masa-masa perjuangannya mencari tahu keberadaan kakaknya. Kualitas Chudori sebagai seorang jurnalis memang tidak perlu diragukan lagi. Meskipun mengaku bahwa ia lebih nyaman menyajikan kisah yang benar-benar dialami Nezar Patria ke dalam wujud fiksi, Laut Bercerita terasa autentik dan investigatif. Meski narasi Laut terasa sedikit feminin di bagian awal--saya baru sadar bahwa ia seorang lelaki ketika bertemu dengan Anjani--kata-kata Laut yang mendayu-dayu dengan sempurna menggambarkan karakternya yang hemat bicara, cerdas, tetapi berapi-api dan idealis. Jika saya berusaha menyuarakan tipe pemuda semacam ini, saya pun akan menggunakan pilihan kata yang sempurna. Laut mungkin terlihat egois, tetapi tanpa orang-orang seperti Laut yang memperjuangkan kemerdekaan, Indonesia tak akan bisa seperti ini.

Dalam paruh kedua buku ini, giliran Asmara yang bercerita. Adik perempuan Laut, seorang dokter muda, yang memang tidak terlibat secara langsung dalam perjuangan mahasiswa, tetapi ia membela negara ini dengan mengabdikan ilmunya ke daerah terpelosok Indonesia. Meski demikian, ia tetap membela perjuangan kakaknya. Ketika Laut menghilang, ia yang paling tegar meski sebenarnya ia yang terkena dampaknya paling hebat. Ketika orangtuanya menyangkal bahwa Laut tak akan kembali, ketika pacar Laut menyangkal bahwa Laut tak akan kembali, Asmara-lah yang menjadi satu-satunya orang yang paling berakal sehat dari mereka semua. Tetapi ialah yang paling kehilangan. Kakaknya yang cerdas, kakaknya yang menyayanginya, kakaknya yang protektif. Ketika akhirnya ia bergabung ke dalam Komisi Orang Hilang dan mendapat berita ada tumpukan tulang-belulang yang ditemukan di Pulau Seribu, ia tahu kakaknya pasti tak akan pernah kembali. Dan ialah satu-satunya yang bisa menjaga keluarganya untuk tetap utuh meski ia sendiri juga memerlukan penghiburan. Ketika Asmara mulai bisa menerima kenyataan, ia memutuskan untuk melanjutkan perjuangan kakaknya, menentang desperados atau penghilangan orang secara paksa. Tak hanya fokus pada isu lokal, Laut Bercerita juga melihat lewat sudut pandang dunia dengan melibatkan ibu-ibu Plaza de Mayo.

Chudori seorang wanita yang kuat, dan itu jelas-jelas direfleksikan lewat karakter-karakter wanita dalam Laut Bercerita yang kuat dan tegar. Sama seperti para wanita penyintas korban tahanan politik PKI, Kasih Kinanti, Anjani, Asmara, para ibu dari mahasiswa yang menghilang, dan para ibu Plaza de Mayo, dalam tangisan mereka, ada kekuatan. Mereka masih tetap berharap, mereka masih berpegang pada harapan bahwa kekasih mereka akan kembali. Bahwa perjuangan para wanita dalam menjadikan Indonesia seperti sekarang ini tidak bisa dimungkiri.

"Matilah engkau mati/ Kau akan mati berkali-kali" adalah kutipan yang diucapkan oleh Sang Penyair, satu sosok yang dihormati oleh Laut, dari puisi Soetardji Calzoum Bachri, menjadi esensi dan jiwa dari Laut Bercerita. Para mahasiswa ini memang sudah tiada, dan mereka seakan-akan dilenyapkan, tetapi roh semangat dan nama mereka akan selalu dikenang dan diukir, di mana pun mereka berada sekarang ini.

Daftar nama tiga belas orang mahasiswa yang masih hilang, beserta beberapa mahasiswa lain yang tewas pada masa orde baru bisa dilihat di sini.
Profile Image for Sulis Peri Hutan.
1,055 reviews272 followers
November 7, 2017
Review lengkap bisa dibaca di http://www.kubikelromance.com/2017/11...


Ingatan saat agak kabur saat peristiwa Mei 1998, kala itu kalau tidak salah saya masih berusia sepuluh tahun, yang saya ingat hanya melihat banyak toko tutup dan penuh dengan coretan, sepi, semrawut. Namun, ada nuansa riuh yang saya lihat di media televisi ketika presiden Soeharto turun dari singgasananya. Indonesia akhirnya bebas dari diktator yang memimpin selama 32 tahun tanpa jera. Ketika membaca buku ini ada fakta lain yang sebelumnya tidak saya tahu dengan jelas, saya hanya tahu kalau ada aktivis yang hilang, saya hanya tahu bagaimana kala itu media dibungkam dan disetir, kalau bersuara menentang maka siap-siap ditembak di tempat, tanpa tahu posisi si penembak. Fakta di balik perjuangan para mahasiswa dan aktivis untuk melakukan perubahan besar bagi Indonesia.

Tesebutlah Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM, dia bertemu dengan Kasih Kinanti di tempat fotokopi buku-buku yang dianggap terlarang, langganan berbuat dosa, katanya kala itu mahasiswa membawa buku karya Pramoedya Ananta Toer sama saja dengan menenteng bom, dianggap berbahaya dan pengkhianat bangsa, sehingga mereka harus menyembunyikanya. Kinan mengajak Laut untuk mendatangi forum diskusi membahas buku-buku karya Ernesto Laclau dan Ralph Milibard, mendiskusikan pemikiran mereka. Lalu dia diperkenalkan kepada Arifin Bramantyo, mahasiswa yang cukup terkenal menyuarakan pendapat, mendampingi para buruh dan petani untuk menuntut hak mereka.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Biru Laut untuk bergabung dengan Winatra dan Wirasena, Laut merasa berada di tempat yang tepat, bersama dengan orang-orang yang memiliki misi yang sama, ingin Indonesia burubah. Orang-orang yang ingin menggugat dan melawan Orde Baru yang nyaris tanpa demokrasi, orang-orang yang inggin menggulingkan Presiden -orang yang membuat Indonesia menjadi negara yang gelap dan kelam. Mereka membela petani dan buruh, membela semua rakyat Indonesia yang miskin, berdiskusi dan merancang unjuk rasa di berbagai daerah.

Pada tahun 1996, Winatra dan Wirasena dianggap organisasi terlarang, orang-orang yang kritis terhadap pemerintahan dianggap membahayakan kedudukan Presiden. Banyak dari mereka diburu dan diciduk oleh lalat hijau, mereka diambil secara paksa. Dua tahun Biru Laut menjadi buron bersama dengan Alex dan Daniel, mereka bergerak lewat bawah tanah, selokan, mencoba tak terlihat. Tidak hanya berganti-ganti posisi di Pulau Jawa, mereka juga merambah ke luar Pulau Jawa, dua tahun harus memendam keinginan untuk berkumpul dengan keluarga, hanya dengan lewat pesan yang dikirimkan dari orang ke orang.

Maret 1996 mereka bertiga berhasil diringkus, mereka di sekap di tempat yang tak bercahaya, tidak tahu tanggal dan hari. Dipukuli, disundut, disetrum dengan tongkat listrik, diletakkan di atas balok es, direndam ke dalam bak, mereka disiksa agar membuka mulut siapa yang mendalangi aksi heroik melawan Presiden. Ada sembilan kawan yang kembali, 13 sisanya entah ke mana, tak jelas nasibnya.

"Kita tak ingin selema-lamanya berada di bawah pemerintahan satu orang selama puluhan tahun, Laut. Hanya di negara diktatorial satu orang bisa memerintah bagitu lama... seluruh Indonesia dianggap milik keluarga dan kroninya. Mungkin kita hanya nyamuk-nyamuk pengganggu bagi. Kerikil dalam sepatu mereka. Tapi aku tahu satu hal: kita harus mengguncang mereka. Kita harus mengguncang masyarakat yang pasif, malas, dan putus asa agar mereka mau ikut memperbaiki negeri yang sungguh korup dan berantakan ini, yang sangat tidak menghargai kemanusiaan ini, Laut."

Karena dalam hidup, ada terang dan ada gelap. Ada perempuan dan ada lelaki. "Gelap adalah bagian dari alam," kata Sang Penyair. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi.

Sesekali, aku membayangkan kita berdua bisa keluar dari dunia yang kita kenal ini, meloncat melalui sebuah portal dan masuk ke dimensi lain di mana Indonesia adalah dunia yang (lebih) demokratis daripada sekarang: presiden dipilih berdasarkan pemilu yang betul-betul adil; pilar-pilar lain berfungsi dengan baik; perangkat hukum dan parlemen tidak berada di dalam genggaman seorang diktator dan perangkatnya; pers bisa bebas dan tak memerlukan sebuah departemen yang berpretensi "mengatur" padahal bertugas membungkam. Apakah kita akan pernah hidup dalam Indonesia yang demikian? Indonesia yang tak perlu membuat para aktivis dan mahasiswa yang kritis harus hidup dalam buruan dan sesekali mendapat bantuan dari berbagai orang baik.

Pada lembar ucapan terima kasih, penulis membeberkan asal mula buku ini tercipta. Tahun 2008 ketika Leila S. Chudori meminta Nezar Patria menuliskan penggalamannya saat diculik pada Maret 1998 tanpa disensor, terbersit ide untuk menulis tentang mereka yang dihilangkan, ingin menulis tentang para penulis yang diculik, yang kembali dan tak kembali, tentang keluarga yang terus menerus sampai sekarang mencari jawab keberadaan anak mereka agar bisa berziarah, ingin tahu di mana jenazahnya agar bisa mengguburkan dengan layak.

Laut Bercerita memang terinspirasi dari kisah nyata, selepas membaca saya mencari sedikit tentang peristiwa yang melatari runtuhnya masa Orde Baru. Saya menemukan bahwa ada sembilan tahanan yang dilepas, tapi ada 13 sisanya tanpa tahu rimbanya. Saya merasa Arifin Bramantyo mirip dengan Budiman Sudjatmiko, politisi dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mendalangi gerakan menentang Orde Baru, Sang Penyair mirip dengan Wiji Thukul, bahkan tempat Laut, Alex dan Daniel diculik mirip dengan apa yang terjadi pada Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, di Rumah Susun Klender pada 13 Maret 1998, mereka bertiga tinggal satu rumah dengan Bimo Petrus, korban yang masih hilang sampai sekarang. Aksi Blangguan dan Bungurasih, di mana Winatra dan Wirasena mendampingi para petani juga pernah terjadi kala itu.

Membaca novel kedua Leila S. Chudori ini masih memberikan nuansa yang sama ketika dulu saya membaca Pulang, saya tahu dari awal tidak akan mendapatkan cerita yang saya suka, yang penuh rasa bahagia, sejak awal saya sudah mewanti-manti agar tidak patah hati. Membaca karya Leila S. Chudori membuat saya selalu nyesek, dapat merasakan apa yang tokohnya rasakan, apa yang ada di dalam pikiran mereka. Ketika membaca tulisan Leila S. Chudori saya juga selalu mendapatkan cerita tentang; dapur, keluarga, sahabat, kisah pewayangan, feminisme, dan sejarah kelam Indonesia.

Sama seperti Pulang, saya rasa penulis yang bekerja di majalah Tempo ini bukan berfokus pada desaparasidos (penghilangan orang secara paksa), bagian itu lebih sebagai pendamping, yang melatari kisah utama. Kalau Pulang berfokus akan perasaan orang-orang yang tidak bisa kembali ke tanah airnya, alih-alih tentang peristiwa 1965, pun dengan Laut Bercerita. Penulis ingin mengangkat perasaan orang-orang yang ditingalkan tanpa kepastian, orangtua yang penuh harap, penuh pengyangkalan, dan penuh mimpi kosong. Kekasih yang merana bahkan sampai hampir gila, sahabat yang kembali tapi tak pernah sama lagi, kehilangan ruh, kehilangan jiwa, mengalami trauma yang dalam, baik fisik maupun mental. Tentang seseorang yang harus realistis, yang terpaksa menekan emosi karena harus menjadi yang paling rasional di rumah, sampai lupa caranya bersedih.

Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian.

"Yang paling sulit adalah menghadapi ketidakpastian. Kami tidak merasa pasti tentang lokasi kami; kami tak merasa pasti apakah kami akan bisa bertemu dengan orangtua, kawan, dan keluarga kami, juga matahari; kami tak pasti apakah kami akan dilepas atau dibunuh; dan kami tidak tahu secara pasti apa yang sebetulnya mereka inginkan selain meneror dan membuat kami hancur..."

"Yang paling penting untuk langkah awal adalah menyebarkan kesadaran pada masyarakat bahwa ini bukan persoalan pribadi. Ini persoalan kita semua dan bisa terjadi pada siapa saja."

Laut Bercerita cukup menyakitkan bagi saya, selepas membaca saya masing terbayang-bayang, bagaimana nasib mereka, bagaimana mereka bertahan, bagaimana kondisi keluarga mereka. Saya bahkan tidak bisa menyukai Biru Laut sedalam Segara Alam dalam Pulang, saya beranggapan dia terlalu egois, terlalu lemah, tidak memikirkan bagaimana perasaan orangtua yang tanpa lelah mencari, adik yang sangat menyayanginya, kekasih yang menunggu tanpa lelah. Namun, tanpa sosok seperti Biru Laut dan kawan-kawannya, kita sekarang tidak akan merasakan negara yang demokratis, Indonesia yang memiliki wajah baru, walau akan ada suatu masa yang mencoba meruntuhkannya kembali, akan selalu muncul orang-orang seperti Biru Laut, meninggalkan keluarga dan kebahagiaan, memilih berkorban.

Laut Bercerita memiliki dua bagian, sama-sama ditulis lewat sudut pandang orang pertama. Pada bagian pertama kita akan diperlihatkan masa-masa sebelum Mei 1998 meledak, masa di mana para mahasiswa dan aktivis mulai bergerak untuk meruntuhkan Orde Baru yang jahaman, selang seling antara tahun 1991 sampai tahun 1998 lewat Biru Laut sendiri yang berbicara. Sedangkan bagian dua kita akan didampingi oleh Asmara Jati, adik Biru Laut, menuntun kita untuk melihat keaadaan pasca Orde Baru runtuh, khususnya kepada keluarga yang ditinggalkan dan apa yang dihasilkan pada masa reformasi.

Karakter favorit saya di buku ini tentu Asmara Jati, dia paling kuat, paling rasional, orang yang harus tegar agar tidak semua menjadi gila. Ada juga Kasih Kinanti, dia perempuan satu-satunya yang terlihat dan berperan penting dalam aksi yang dilakukan oleh Winatra dan Wirasena, posisi yang sejajar dengan Bram. Lewat mereka berdua Leila S. Chudori memberikan rasa feminisme, bahwa perempuan bisa menjadi sang penolong, perempuan tidak selalu lemah.

Bagian favorit dan paling menyakitkan adalah ketika ritual makan malam bersama setiap Minggu, Ibu Laut akan memasak tengkleng atau masakan kesukaan Biru Laut, selalu menyiapkan empat piring, lalu Bapak akan menyuruh menunggu sebentar, siapa tahu Biru Laut akan datang tiba-tiba, kemudian Asmara Jati permisi untuk ke toilet, menangis meraung-raung. Bagian itu sangat emosianal sekali bagi saya, saya bisa merasakan apa yang dialami oleh keluarga yang ditinggalkan, betapa menyakitkannya.

Laut Bercerita sangat saya rekomendasikan bagi siapa saja yang ingin mendengar, bagi kids zaman now yang tidak tahu jahanamnya pemerintahan Orde Baru, bagi yang merasa zaman Soeharto lebih enak dari zaman sekarang. Bacalah, tolong, lalu sebarkan ke semua orang, agar kisah mereka yang hilang diketahui, agar mereka ditemukan kembali.
Profile Image for Zulfy Rahendra.
284 reviews66 followers
February 5, 2018
Saya berusaha keras bikin review yang bagus, biar bisa diikutin di resensi pilihan gramedia, biar nantinya dapet buku gratis, seperti kawan saya, sebut saja ybs. Tapi saya udah bolak balik nulis review pake bahasa yang baik dan benar, berusaha jujur sekaligus kritis, mencoba menyampaikan kesan, pendapat, dan isi buku dengan bahasa yang bagus, tapi jadinya malah meh. Maksa banget rasanya. Dan terlihat berlebihan. Jadi saya mulai buka halaman baru lagi, dan nulis review sesuai kodrat saya; sambil curhat.


Rasanya saya tau rasanya kehilangan (semua juga kayaknya tau), dan ditinggalkan tanpa kejelasan (I talk to you, kutil cumi-cumi!). Tentu tidak semenyakitkan apa yang dirasakan sahabat dan kerabat aktivis yang hilang taun 1998, tapi yah... I think I can relate. Gimana rasanya hidup berpegang pada harapan samar, gimana lebih bahagianya hidup di kepompong masa lalu, betapa lebih mudah berpura-pura semuanya akan baik-baik aja. Gimana beratnya melepaskan, dan betapa sulitnya berdamai dengan kehilangan.


Buku ini dibagi menjadi 2 bagian. Separuh awal buku ini adalah bagian cerita Biru Laut. Biru Laut adalah salah satu aktivis yang hilang tahun 1998. Dikisahkan dari POV Laut, part ini banyak membahas tentang masa-masa awal gerakan mahasiswa terbentuk, persahabatan Laut dengan aktivis-aktivis lain, sampai kemudian dia diculik, disekap, diinterogasi, dan disiksa oleh aparat. Miris banget baca part ini. Ngeri. Saya pribadi lebih suka part 2 buku ini. Bagian cerita Asmara Jati, adik Biru Laut. Mendengarkan cerita dari sudut pandang dia, hati saya kayak diremes-remes. Dia bukan cuma harus menerima kakak kesayangannya hilang, tapi juga harus menghadapi orang tuanya yang gagal move on akut. Pedih banget, Jendral. Teriris hati Tika Bravani baca ini. Part Asmara Jati ini bukan hanya menceritakan strugglenya mereka yang kehilangan aja, tapi juga menceritakan mereka yang kembali, mereka yang bertahan hidup. Gimana para survivor menghadapi trauma, selalu dihantui rasa bersalah dan mimpi buruk. Buat saya part Asmara Jati lebih intens dan emosional dan kurang panjang. Hahahaha. Saya lebih suka kisah dari POV dia soalnya. Konflik emosinya lebih kerasa. 


Buku ini juga yang bikin saya makin paham soal makna aksi Kamisan. Saya sering sekali denger aksi Kamisan (beberapa temen saya malah aktif ikutan), tapi saya terlalu males nyari tau atau mungkin terlalu enggan memahami. Ketika baca ini, saya sedikit demi sedikit mengerti, memahami, mengapa banyak sekali yang bertahan. Mengapa harus bertahan. Saya sampe mikir, "ya Allah, saya yang ditinggalin tanpa alesan dan satu-satunya yang jadi ga jelas adalah status hubungan kami aja bisa segini tersiksanya, apalagi mereka yang kehilangan seseorang yang ga jelas nyawa dan keberadaannya. Saya mending mungkin suatu hari bisa menuntut jawaban dan nyalahin si kutil cumi-cumi karena udah bersikap kayak Draco Malfoy gitu (you are trully Slytherin like you said, damn hobbit!), mereka yang anaknya ditembak pas kerusuhan bisa apa? Ya Allah, betapa sepelenya masalah saya dibanding masalah orang lain.."


Intinya, sekali lagi, Leila Chudori berhasil membuka mata saya mengenai hal-hal sosial yang selama ini cenderung saya abaikan. Susah untuk tidak, seenggaknya, mulai berempati sama para pendemo aksi Kamisan. Suka bukunya! Cara ceritanya bagus. Dan ngingetin ke Pulang. Leila Chudori emang jago ngemas cerita begini jadi ngepop dan enak dibaca. Dan satu lagi, sepertinya saya emang tidak ditakdirkan bikin resensi yang tak ada muatan curhatnya. Hhhhhh...
Profile Image for Mikochin.
141 reviews23 followers
April 11, 2021
I feel bad giving this 3-stars but the goodreads rating system is based on whether or not we like this book, and not about how good the book is.
I personally find it great; I love the writing style, it flows nicely, easy to read, but still beautiful. I like the theme and I can see just how much research had been done to be able to write something as detailed and somehow personal like this. However, perhaps because the story was meant to highlight the struggle of these activists, it just... got repetitive at times. I feel like what I read was just torture after torture, grieving and more grieving. People said that this book is sad and heart wrenching but I barely felt anything. I truly feel empathetic with what they’re going through and I also like how I was able to learn more about what really happened /back then/ but.. since there’s so many repetitions it stopped being sad to me. It falls flat and probably a bit anticlimactic.
Well, perhaps this is another case of ‘it’s not the book, it’s me.’
Profile Image for putri.
273 reviews44 followers
February 24, 2024
Thoughts 24.02.2024
sebagai orang yang sulit untuk memulai membaca buku-buku non-fiksi sejarah, buku ini sangat membantu anak-anak muda indonesia dalam mempelajari sejarah yang minim sensor.
melalui buku ini, aku sadar kalau ternyata selama ini, buku-buku sejarah resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah didistorsi sedemikian rupa untuk kepentingan rezim. definisi pahlawan dan pengkhianat juga ditentukan oleh kekuasaan rezim.
melalui buku ini, aku sadar kalau karya-karya sastra adalah senjata yang kuat yang bisa menggulingkan kekuatan yang dibangun selama 32 tahun. penguasa-penguasa itu takut, sampai mereka harus memusnahkan buku-buku yang dianggap mampu menggulingkan kekuasaan mereka. belum pernah terbayang dalam benakku sebelumnya.
aku turut merasakan takut selama membaca buku ini untuk pertama kali, padahal saat itu, 21 tahun telah berlalu sejak reformasi dimulai, padahal buku ini terbit melalui penerbit besar di indonesia, padahal aku sama sekali tidak merasakan secara langsung bagaimana orde baru melarang anak-anak muda untuk memperkaya ilmu mereka melalui buku. tapi ternyata sekuat itu dampaknya, bahkan setelah lebih dari dua dekade rezim tersebut runtuh.

Thoughts 26.11.2029
I don't think my review will do it justice so I'm not going to write one. I'm just gonna say this story is incredible yet so painful they need to consider putting a warning sign or something on the cover😭😭 I cried a lot bc I could practically feel everyone's love to each other here. You really need to feel that yourself.

Also, this story happened, it's real, so I pray for those iblis (this term suits them best, I feel like the term 'devil' is too weak) who violated human rights to rot in hell and may God create one as bonus for them here in the world so that they won't both live and die in peace, aamiin.

I'd really like to thank all of the activists involved back then because they had successfully created a better country for us to live, thank you and rest well kak.
Profile Image for yun with books.
616 reviews226 followers
August 6, 2021

"Dan akhirnya tubuhku berdebam melekat ke dasar laut, di antara karang dan rumput laut disaksikan serombongan ikan-ikan kecil yang tampaknya iba melihatku. Aku menyadari: aku telah mati. Tubuhku akan berada di dasar laut ini selama-lamanya, dan jiwaku telah melayang entah ke mana. Sementara ikan-ikan biru, kuning, ungu, jingga mencium pipiku; seekor kuda laut melayang-layang di hadapanku, aku mendengar suara ketukan yang keras. Sebuah ketukan pada sebilah papan kayu....

Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawan...dengarkan ceritaku...."


SOLID 5 STARS!!! I'M GIVING IT WITH ALL MY HEART AND MY TEARS
Laut Bercerita memberikan cerita yang menyesakkan dada dengan tulisan yang amat mengalun. Sejak prolog saja sudah dibuat mencelus hati dan dari awal memang aku sudah mengira akan jatuh cinta dengan buku ini. Jadi, saya amat sangat senang ekspektasi saya terpuaskan. Laut Bercerita memberikan pengalaman magis dan membuat setiap pembaca ikut terkuras emosinya. Diceritakan dalaa dua point of view, yaitu:
1. Biru Laut, seorang aktivis tahun 1998 yang diculik dan akhirnya dibunuh oleh para tentara yang tergabung dalam Tim Elang
2. Asmara Jati, adik dari Biru Laut, seorang dokter yang mencari keadilan dan kepastian di mana sang kakak berada.

Seperti yang sudah aku katakan, bahwa buku ini di halaman pertama buku ini sudah membuat hatiku menggebu-gebu, marah, emosi karena tidak habis pikir mengapa kejadian buruk seperti ini bisa menimpa seorang manusia yang hanya ingin menuntut keadilan.

Lanjut soal karakter di dalam buku Laut Bercerita, walaupun cerita ini fiksi tapi aku yakin 75% buku ini adalah kisah nyata dari masing-masing aktivis yang tergabung dalam sebuah organisasi yang bergerak untuk menggulingkan pemerintahah Soeharto.
Tragedi penculikan aktivis 1998 sebanyak 22 orang, yang mana 9 orang kembali dan 13 orang masih hilang menjadi poin utama buku ini. Aku sampai bolak balik mencari di Google nama-nama aktivis tersebut dan mencocokkan dengan karakter fiksi yang ada di buku Laut Bercerita.
Karakter Biru Laut, karakter central dalam buku ini. Dideskripsikan bahwa Laut adalah orang pendiam, irit bicara dan "garang" dalam tulisan. Aku langsung menyukai karakter Laut, tipikal mahasiswa "heartthrob" kampus dengan pikiran idealnya yang bikin mahasiswa wanita penasaran sekaligus tertarik (karena aku merasa Biru Laut, sangat amat karismatik dan cowok tipeku banget hahaha).. Cerita Biru Laut sangat amat mengalun dan aku sangat amat menikmati deskripsi Laut tentang perjuangannya menuntut keadilan, perjuangannya di Blangguan hingga aktivitas bawah tanahnya untuk menggulingkan pemerintahan.
Saat-saat kritis, ketika Laut dan kawan-kawannya mulai diburu oleh "lalat" pemerintah juga membuat pembaca-re: aku- ikut tegang dan takut.

◘ Selain itu, karakter-karakter lain, seperti Sunu, Narendra, Kinan, Bram, Gala, Alex, Daniel, Coki, Naratama, Julius, Dana dan lain-lain ( not you Gusti) sangat amat menunjukkan arti dari kesetiaan dan persahabatan yang sesungguhnya. Gak bisa gak nangis setiap baca bagian mereka disiksa oleh para tentara tim Elang. Membuatku jadi berpikir, bahwa begitu gigih dan kuat persahabatan mereka demi mencapai Indonesia yang lebih baik bagi masyarakat.
◘ Kisah percintaan Anjani dan Laut juga bikin aku ikutan deg-degan, karena merasa ikut menikmati cinta yang sangat dalam di antara berbagai macam tantangan dan ancaman keadaan.
◘ Karakter Mas Gala, atau Sang Penyair menurut Laut yang menurutku adalah representasi dari Widji Thukul menjadi salah satu tokoh yang penting bagi terbentuknya karakter Laut.

"Gelap adalah bagian dari alam. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi.

Membaca buku ini ikut emosi karena aku gak masuk di akaln enapa ada pemerintahan yang begitu kejam dan keji dengan rakyatnya. Membaca buku ini juga seketika merasa malu karena perjuangan-perjuangan aktivis yang tidak ada habisnya untuk membela rakyat Indonesia dari pemerintahan yang represif.
Halaman 200, menjadi bagian paling menyiksa dari buku ini, ketika hidup Biru Laut ada di ujung tanduk. Ketika Laut mengirim pesan kepada Asmara Jati dan Anjani lewat Alex. Udah gak karuan air mata.


Lalu, bagian cerita Asmara Jati beserta aktivis yang dikembalikan oleh tentara Tim Elang membentuk Komisi Orang Hilang. Lebih menyesakkan lagi. Bagaimana yang hidup harus tersiksa karena mencari ketidakpastian akan kabar anak, suami, kekasih, kakak yang hilang entah ke mana. Kehidupan Bapak dan Ibu Laut, gak bisa ga bikin perih. Asmara Jati yang sangat gigih dalam mencari sang kakak, membuatku sebagai pembaca mengerti bagaimana sangat tersiksa hidup seperti itu.


Satu-satunya hal yang bikin saya ilfeel adalah dialog Anjani dan Laut, ketika Anjani memakai bahasa Inggris pada satu kalimat, seperti tidak alami. hahhaha aku jadi meringis di adegan itu.

Akhir kata, JANGAN MELEWATKAN BUKU SEBAGUS DAN SEEMOSIONAL INI.
Aku amat sangat senang karena bisa berkesempatan baca.
Kutipan terakhir dari Laut:
"Jika jawaban yang kalian cari tak kunjung datang, jangan menganggap hidup adalah kekalahan."


*balik nangis lagi inget Laut*
Profile Image for Delasyahma.
242 reviews134 followers
May 11, 2023
Genre : Fiksi Sejarah ( Historical Fiction )
NOVEL DEWASA


Laut Bercerita, merupakan kisah yang menceritakan sejumlah anggota aktivis pada masa Orde Baru tahun '98 dimana organisasi itu bernama Winatra dan Wirasena, Laut Bercerita merupakan perjalanan panjang bagi Laut dan kawan-kawannya dalam mendapatkan keadilan pada rezim yang berkuasa.

Buku ini seperti membuka mata hatiku, akan keadaan Indonesia pada zaman dulu, pada saat harga permen masih bisa dibeli dengan uang Rp. 50,-

Setiap lembar demi lembar yang aku baca aku sukses membuat bulukudukku berdiri. Dan hatiku tertohok dan berfikir "seandainya aku hidup pada zaman itu?"

Menggunakan POV 1 dengan diambil dari 2 sudut pandang yaitu tokoh Laut dan Asmara Jati ( adik Laut ) sukses membawa pembaca kedalam dunia mereka yang membuat hati perih. .
Deskripsi yang sangat sangat aku suka, penggambaran latar dan tokoh yang juga sangat baik sehingga membuat aku tidak mau meninggalkan cerita ini.

Banyak tokoh2 yang aku sukai dalam cerita, membuat cerita semakin hidup, dan dipenuhi dengan tanda tanya.

Kehilangan yang begitu terasa dalam buku ini, membuat aku tak berhenti mengambil helaian tissu.

Aku sangat menyukai buku ini, entah kenapa aroma perjuangannya pun begitu terasa.

Untuk Laut dan kawan2, usaha kalian tidak sia2, sekarang Indonesia sudah menghidu udara kebebasan dalam berdemokrasi. 💕


Rate : 5/5🌟
Profile Image for Raafi.
836 reviews441 followers
May 10, 2018
Aku masih ingat Oktober 2017 lalu saat begitu antusias atas terbitnya karya terbaru Leila S. Chudori, pengarang fiksi-historis kawakan tanah air, ini. Betapa tidak, seingatku, aku begitu menggandrungi Pulang. Aku sampai membeli beberapa karyanya yang lain yang merupakan kumpulan cerita. Malam Terakhir: Kumpulan Cerpen pun kulahap dengan nikmat. Maka itu, saat buku ini terbit, aku langsung membelinya. Aku bahkan mendapatkan kopi cetakan pertama. Betapa aku amat berharap akan buku ini.

Buku ini masih begitu-Leila. Riset akan sejarah kelam Indonesia tergambarkan secara gamblang pada buku ini. Aku sungguh mengapresiasi hal itu. Aku jadi bisa mengira-ngira apa yang terjadi pada masa Orde Baru dari sisi para penggerak, mereka yang begitu ingin Indonesia benar-benar menjadi negara demokratis seutuhnya. Tentang kekejian orde itu, tentang ketimpangan keadilan, tentang asa yang membara, semua begitu tersampaikan kepadaku.

Hanya saja, aku tidak menyukai alurnya yang begitu lambat. Aku tahu alur lambat dengan penjelasan ini-itu bagus untuk pendalaman cerita dan rasa. Juga perihal fiksi berbasis sejarah yang harus menjabarkan beberapa hal agar pembaca mendapatkan wawasan. Sayangnya, aku melihat buku ini memiliki beberapa bagian yang bisa dipadatkan dan menjadikan ketegangan serta kekejian yang disampaikan benar-benar sebagai sorotan utama.

Sejujurnya, aku bahkan membaca cepat bagian Asmara Jati yang anehnya membuatku tetap paham dengan akhir cerita.

Jadi, aku sedikit kecewa atas ekspektasiku sendiri. Dan menurutku terjawab sudah kenapa butuh tujuh bulan buatku untuk menyelesaikan buku ini. Butuh niat super-duper-kuat untuk aku menuntaskannya. Tapi, setidaknya, kini sudah lega.

Kisah Biru Laut dan sang adik, Asmara Jati, akan selalu tercitra dalam benak; terutama kekejian yang diterima Laut dan kelimpungan yang dialami Mara.
Profile Image for Martha Lembayung.
22 reviews4 followers
July 26, 2019
Buku ini bagus, mengangkat tema yang bagus. tapi untuk ku pribadi buku ini masih terlalu "lembut" untuk genre historical fiction. aku tidak merasakan Laut Bercerita ini fokus pada poin utama orde baru yaitu kekejamannya. Ya, tentu ada kekerasan yang diutarakan di buku ini. Tapi menurut ku masih sangat kurang. Misalnya, pada tahun 1998 yang pada saat itu sedang krisis moneter, untuk kelas seorang tahanan, mendapatkan makan tiga kali sehari dan teh sebagai minumnya merupakan kemewahan.

Jujur, buku ini dibawah ekspetasiku. ceritanya terfokus pada keluarga, teman dan romansa (ini pun romansanya tidak terlalu aku rasakan). Jadi aku katakan ini cerita historical fiction yang halus. Aku haus dan mengharapkan akan cerita yang berkobar-kobar, demo, bentrok, perlawanan, baku hantam tanpa menyerah dari mahasiswa pada orde baru. Karna pemahaman ku akan orde baru adalah seperti itu. Bukan penjelasan panjang mengenai makanan atau penjelasan panjang mengenai latar belakang tiap tokoh pendukung tapi di bab-bab selanjutnya penjelasan panjang lebar akan tokoh pendukung-tokoh pendukung itu tidak berguna, mereka tidak mendapat cukup ruang untuk menunjukkan karakternya.

Sangat sangat disayangkan. Aku suka buku ini karna temanya tentang sejarah Indonesia, tp buku ini UNTUK KU masih belum bisa membawa aku untuk mendapatkan dan menikmati sisi lain dari sejarah itu.

Mungkin banyak dari kalian yang tidak setuju akan pendapat ku. Aku hanya seorang pembaca yang gemar akan sejarah dan tidak ada maksud untuk merendahkan salah satu pihak. Terimakasih pada Leila S. Chudori yang telah menciptakan buku Laut Bercerita ini. Untuk buku lokal, genre historical fiction jarang muncul kepermukaan. Senang rasanya, tema historical fiction dapat diterima oleh banyak pembaca.
Profile Image for Lelita P..
584 reviews52 followers
March 18, 2018
This book blew my mind.

Tidak seperti tulisan Mbak Leila sebelumnya, Pulang, yang sejak halaman pertama sudah menyedot perhatian, Laut Bercerita ini bagi saya tidak memiliki pesona itu. Mulanya saya susah masuk ke ceritanya, bacanya seperti sepintas lalu saja. Namun, itu tidak lama. Barangkali hanya 10-15 halaman awal. Setelah itu, saya malah tak bisa berhenti. Tenggelam sepenuhnya dalam cerita.

Yang saya sukai dari novel ini adalah karena novel ini membuka mata akan sepotong sejarah yang banyak terlupakan. Pada tahun-tahun yang menjadi latar novel ini usia saya masih sangat muda, peristiwa Reformasi pun hanya ingat selintas-selintas di kepala. Dan saya selalu lebih tertarik pada sejarah kerajaan sampai Proklamasi, sebagaimana yang diajarkan dalam mata pelajaran Sejarah di bangku sekolah. Bahkan untuk menghafal peristiwa-peristiwa yang terjadi pasca-Proklamasi saja buat saya sulit. Apalagi Reformasi, yang karena terjadi ketika saya sudah duduk di bangku SD, jadi terasa bukan sejarah. Padahal ketika tersadar, peristiwa Reformasi itu terjadi dua puluh tahun lalu--sudah menjadi sejarah. Barangkali sudah masuk ke buku teks untuk siswa sekolah zaman sekarang.

Namun, Mbak Leila tidak terlalu menitikberatkan pada peristiwa Reformasi. Di sini dia menulis tentang perjuangan mahasiswa-mahasiswa kritis zaman akhir Orde Baru, yang berupaya menemukan suara di era tersebut ketika segalanya begitu ketat tanpa kebebasan berbicara. Salut dan respek sedalam-dalamnya untuk perjuangan Laut dan kawan-kawan Winatra, yang memperjuangkan kebebasan hingga akhirnya disiksa sampai seperti itu.

Membaca ini saya bersyukur karena tidak mengalami masa-masa itu ketika sudah bisa berpikir kritis sendiri. Namun, di sisi lain saya merasa miris karena berkaca pada mahasiswa zaman sekarang, yang boro-boro diskusi kritis, jauh lebih banyak yang main medsos. Saya pun dulu termasuk mahasiswa seperti itu. :( Kadang kebebasan yang terlalu bebas seperti pisau bermata dua, ya .... Membayangkan orang-orang zaman sekarang dengan seenaknya membuli Presiden di akun Twitter/Facebook beliau, atau meninggalkan komentar-komentar tak sopan di Instagram beliau, bahkan ada yang menyebarkan kabar tak benar. Kalau hal itu terjadi pada zaman Orde Baru, wah. Mungkin separo generasi muda Indonesia yang seharusnya produktif sudah hilang semua ditangkapi pasukan khusus. Novel ini pun pastinya akan menjadi novel terlarang.

Pantesan Indonesia lumayan terlambat dalam teknologi. Waktu saya menonton film Steve Jobs (2015), saya terpana sendiri melihat bahwa di USA sana perkembangan Mac ternyata sudah dari tahun 80an. Sementara di Indonesia saja internet baru booming tahun 2000an awal .... Ya pasca-Reformasi itu. Sepertinya zaman Orde Baru benar-benar seperti gambaran latar dunia distopia di mana rakyat terkekang oleh pemerintahnya, dan menjadi terisolasi dari dunia luar.

Maaf jadi rambling ke mana-mana.

Kembali lagi ke novel ini .... Saya suka penggalian karakter Biru Laut, latar belakang keluarganya, Asmara Jati, juga teman-temannya. Semuanya diceritakan begitu lengkap, mendalam, sampai saya nyaris percaya mereka sungguh-sungguh ada, bukan hanya karakter fiktif. Dan Mbak Leila tak pernah gagal menulis dari sudut pandang orang pertama laki-laki. Suara maskulinnya dapet, termasuk "pikiran-pikiran kotor" ala lelakinya. (No offense!)
(Oya, salah satu yang saya senangi dari novel ini adalah adegan begitunya nggak terlalu banyak. Nggak seperti Pulang yang memang romansanya kental sehingga berbuntut banyak adegan begitunya, di sini romansa hanya menjadi bumbu pelengkap yang menambah greget cerita keseluruhan tetapi tidak makan banyak porsi sehingga fokusnya tetap tidak bergeser.)

Yang paling, paling, paling saya favoritkan dari novel ini adalah cerita keluarga dan psikologi orang-orang yang ditinggalkan. Hati saya terenyuh membaca bagaimana Bapak dan Ibu Laut tetap hidup dalam fantasi bahwa anaknya akan pulang, bagaimana Asmara berusaha menghadapi itu dengan menjadi satu-satunya yang tetap rasional, tapi kemudian tak tahan juga. Saya terharu di bagian-bagian Asmara breakdown .... Ketika dia menangis di toilet melihat orangtuanya seperti itu, ketika ibu-ibu Argentina mengerti perasaannya, dan terutama halaman 362, ketika ibu mereka akhirnya bisa menatap Asmara karena "Laut" mengatakan, "Ibu jangan melupakan anak Ibu satu lagi. Dia butuh Ibu." ...... Itu saya lagi di kereta, dan mata udah basah aja. Untung pakai masker.

Dan bicara soal psikologi .... Saya ikut emosional membaca tentang Alex, Daniel dan Naratama yang menderita PTSD parah. Ngebayanginnya aja udah merinding ... dihantui rasa lega sekaligus rasa bersalah karena selamat ... sambil terus-terusan bermimpi buruk soal siksaan. Mengerikan ... menyayat hati ....

Sungguh, novel ini hampir sempurna dalam segala aspek.


Saya tak bisa berkomentar lebih banyak lagi selain merekomendasikan novel ini untuk siapa pun yang peduli dengan sejarah negara kita tercinta ini. Wajib baca. Sayang sekali sebelumnya saya nggak tahu bahwa novel ini ada film pendeknya .... Kalau tahu saya nonton deh.

Bagi keluarga para aktivis yang menghilang saat Orde Baru, atau keluarga korban kekerasan HAM yang kasusnya belum tuntas, jangan menyerah. Teruslah berusaha. Semoga ada kejelasan yang memuaskan pada akhirnya.

Terima kasih Mbak Leila sudah menuliskan suara mereka lewat Laut dan Asmara.
Profile Image for Faliya.
34 reviews5 followers
June 4, 2022
Bukan hak saya untuk mengomentari buku yang bahkan tidak saya selesaikan.

Tapi hak saya mengomentari buku yang saya beli pakai uang saya diakhir bulan. Jadi saya akan menuliskan ulasan (oh ayolah, ini curhatan) pada Buku dengan judul laut bercerita.

Semua orang terasa menyukai buku biru ini, pujian, pujaan, tangisan, pilu, semuanya ada dieksplore instagram jika anda mencari review buku ini. Dan orang-orang akan berkata,
"Beli buku ini, rekomen parah!"
Memang parah sekali. Membuat derajat pusing kepala saya makin parah karena Penulis dan saya tidak punya sense yang sama.
My self, have no self confidence to sue this f book. I meant it. I fkng want to smash this book! Omg.


+ PROS

Tidak banyak komentar tentang penulisan beliau yang no play-play. Penulis terlihat berpendidikan dibidang tulis menulis secara lama. Tulisannya nyaman dan mengalir seperti ombak laut.

Covernya, ya allah, MashaAllah sekali. Biru dengan gradasi yang menarik mata. Pokoknya covernya cakep banget, sedap dipandang mata. Apalagi ditaruh etalase kaca. Bakal memantulkan kilau-kilau yang apik! Apresiasi untuk cover buku ini.

Temanya. Politik! Yeay! Anakku, kita hidup dizaman yang apapun serba diromantisasi. Bahkan penyakit mental saja diromantisasi. "Maklumin lah kalo gue gini, kan gue depresi" Nenekmu, maklumin!
Karena saya akhirnya menemukan tema politik dari penulis lokal, tema yang paling jadi favorit saya jika menyangkup bacaan serius.

- CONS

1. Saya tidak tahu...
Sepertinya penulisnya sudah lelah dalam mencari fakta lapangan. Terutama jurusan adik pemeran utama. Si Asmara Jati yang dengan santuy nya bilang;
"Yah masih semester awal di fk. Pelajarannya mah masih santai, cuma belajar biologi dasar. nggak susah."
(Intinya gitu)

Ya Allah, Habibti, setelah membaca kalimat itu saya langsung hening. Terkekeh jelek dan kehilangan mood total 90% untuk melanjutkan buku ini.

Baiklah memang, penulis mengambil setting waktu ditahun 1998. Saya tidak tahu bagaimana kurikulum pendidikan kedokteran pada masa itu, tapi yang saya rasakan sejak pertama kali jadi maba Fk. Tidak ada tuh semester pertama santai seperti kata Asmara. Masa-masa paling susahnya anak Fk malahan.
Apalagi dia bilang, CUMA belajar biologi dasar. Ngomongin bio-dasar, siklus krebs yang ribet itu, termasuk bio-dasar loh! Memang Si paling jenius Asmara ini sangat masuk akal.
(Baca : kamu beneran mahasiswa fk bukan sih?)

2. Detail gak penting
Penulis maksain banget Laut sama Anjani buat have intimate scene. Sumpah maksa banget dan saya Cringe pas baca 😭 i was like,
"ini apaan dah?"
"Emang harus ciuman pas diliat intel? Emang nggak ada opsi penyamaran lain?"

Part dimana Laut baru pulang dengan badan remuk redam karena habis dihajar para intel, bisa-bisanya diselingi adegan ciuman dan Si Laut merasa, ahem, terangsang.
Badanmu tuh lho, hancur lebur nan babak belur. Bisa-bisanya mikirin bikin anak. Ngaco banget. Terlalu maksain. Momennya selalu aneh. intinya, sangat cringe dan bikin cringing in the corner of my room.

3. Minus moral.
Sebelum korang komentar, "baca buku kok cari moral" yaaaa, why not?
Ini hanya perbedaan perspektif sih. Terlalu banyak kata misuh-misuh (yang dapat dimaklumi, mengapa) tapi... tiba-tiba menuliskan pengalaman seks Biru Laut dan teman-temannya, saya jadi bingung. Terus tujuannya apa?  Pas saya ingat Laut beragama islam malah langsung face palm.

"Seks bahkan bisa selesai dalam hitungan menit" maaf seribu maaf. Penulis seperti sambat masalah ranjang, meskipun ini memang fakta lapangan.
(Mungkin biar FYI ke pembaca ya, supaya tak terbohongi sama bacaan novel romantis erotic yang selalu menceritakan lelaki itu awet dan tahan lama saat seks)

Ya ampun, tujuan yang mulia sekali.
Baca adik-adik! Today Lesson is;
"Seks itu gak lama kayak di novel dan film porno yang kamu baca dan tonton!"


Sudah.
Jadi saya sama sekali tidak punya kekuatan untuk melanjutkan novel ini.
Bahkan tidak kuasa untuk menutup review ini.

Pokoknya gitulah, say bye to my folks.
Have a nice day, love.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for John.
147 reviews86 followers
September 21, 2020
Rating: 4.5/5
___
1998. Indonesia under Suharto. The story begins with the death of Biru Laut, who is among the twenty-two student activists abducted and tortured by the elite military force called Elang, is thrown into the sea and drowned to death. What follows is the reminiscences of his political and personal life as a student activist, a fugitive, a son, a brother, a lover, a friend, and a writer. The disappearance of Laut drives his sister Asmara to embark on the journey to discover the truth. It is a painful journey in which she is forced to witness how the families of those who didn’t make it home deal with the reality that their children are gone; as well as to confront her parents’ denial of the brother’s fate. However, her resolution to find out the truth is exactly what makes the ending a bittersweet and haunting one.
***
Told in the perspectives of Laut and Asmara, The Sea Speaks His Name is a heartbreaking and engaging page-turner exploring largely censorship, political oppression, freedom of speech, power of art, family values, hope, and above all, love. With its nuanced, convincing, and unsentimental characterisation; sparse and accessible language; bleak yet hopeful tone, it is an epitome of political drama which allows readers to connect with its characters and their destinies emotionally. The first part, which chronicles Laut's experiences as a student activist, a fugitive, and an abductee, reveals his struggles and unwavering tenacity to reclaim justice through and defy the brutal totalitarian regime, i.e. the Orde Baru government under Suharto; as well as the various forms of political repression to which student activists are subjected. Told from Asmara’s point of view, the second part highlights the aftermath of the abduction and how the nine returnees deal with their personal and shared trauma which has forever changed their lives. The families of the missing activists as well as the survivors work hard to uncover the truth through legal channels, such as establishing a committee and voicing out their concerns at international conferences. What I found the most empowering and inspiring among the themes explored in the story was the power of art, i.e. literature and songs, in raising awareness of injustice and giving the characters hope and happiness in the face of tyranny and despair.
***
In her acknowledgement, the author mentions that the inspiration behind the book is the story of a former student activist who himself was abducted and tortured during the Suharto era. In fact, the story is the result of her interview sessions with the student activists and library research. Hence, The Sea Speak His Name can be deemed a thoroughly well-researched oeuvre for the authorial effort in attempting to write the voices of these students back into history. It is the reclamation and restoration of the many voices silenced by the dominant narrative.
Profile Image for Utha.
800 reviews371 followers
May 4, 2022
Tulisan Yu Leila memang selalu nampol! Dari prolog aja udah buat hati mencelus~

Bakalan review, tapi nanti-nanti dulu. After taste baca novel ini masih membekasssss... :')

Tipe buku yang langsung aku sampul, masukin plastik, dan disayang-sayang, plus nggak mau aku pinjemin hahahahaha.

5 BINTANG BULET.
Profile Image for Aya.
444 reviews901 followers
February 6, 2019
Agak ketinggalan baca ini, sementara teman-teman yang lain sudah menumpahkan segala kesan tentang buku ini di Goodreads.

Satu kata : ngilu.

Ngilu bacanya ketika tahu kalau Indonesia pernah ada di masa seperti 'itu'.
Pelajaran yang gue ambil setelah baca buku ini : mensyukuri apa yang gue punya sekarang, Indonesia tempat gue tinggal sekarang. Berterima kasih kepada 'pahlawan' yang begitu gigih memperjuangkan Indonesia sehingga sampai di titik ini.
Profile Image for icih.
28 reviews12 followers
February 25, 2021
Dari semua review bagus yang ada di sini, aku memberanikan diri untuk mengulas hal-hal yang kupikir kurang dari buku ini. Because I'm such an idea-driven person, I'm not gonna criticize the technical things. This review will contain spoiler, so read it at your own risks.

Buku ini terbagi jadi dua fokus. Bagian pertama menceritakan Laut dan teman-temannya dan usaha perlawanannya dalam gerakan akar rumput, dan bagian dua menceritakan Asmara, adik Laut, yang berusaha mencari kebenaran terhadap hilangnya kakaknya. Yeah, this book itself is a definition of grief and sorrow. Aku sangat merasakan simpati terhadap para mahasiswa yang diceritakan di sini. Tapi, I don't know if it's just me, jalan cerita dan how Leila inserts the feelings itu justru malah lebih terasa di bagian kedua, alias bagian Asmara. Di bagian Laut yang justru kekejaman adanya di bagian itu, aku ngerasa kurang bahkan ada some part yang terkesan di-rush. Let me explain it a bit further.

What I mean by rushed parts terletak di bagaimana perasaan yang harusnya di-portray dengan baik malah tidak terasa sama sekali. Seandainya dijelaskan sedikit lebih dalam lagi, this book would be perfect. Contohnya adalah hubungan Laut dan Anjani. I can take it that they like each other meskipun komunikasi mereka baru terjalin ketika mendekati perjalanan mereka membantu perlawanan petani (I'm sorry I forgot where they went to). Okay, they kissed at the beach. TAPI, ketika Laut pulang setelah diculik dan disiksa, langsung malam itu juga they had sex. I don't criticize the sex itself, tapi jalinan perasaan antara keduanya jadi terkesan hanya mengandalkan nafsu, padahal hubungan mereka terikat sebegitu kuatnya terbukti ketika Anjani jadi lost herself ketika Laut hilang. Kalau mereka emang sebegitu attracted-nya to each other, seharusnya bisa dielaborasi lagi hubungan mereka supaya pembaca relate betapa kehilangannya Anjani, betapa tersiksanya Laut karena rindu pada Anjani ketika harus dalam masa pelarian. Bukan hanya ketika masak mie di dapur tempat perkumpulan mereka, bukan hanya ketika mereka di pantai dan merasakan romansa berdua, dan bukan hanya ketika dini hari Anjani menyeduh teh di dapur sebelum Laut bertanya kenapa menyeduh teh semalam itu. Dan lagi, badan lagi remuk kaya begitu, ternyata masih tetap kalah ya sama dorongan nafsu?

Oh, ngomongin Anjani dan Laut, sekalian saja aku tuliskan hal yang sangat mengganggu. Dalam komik mural yang digambar Anjani di dinding, dia bilang kalo dia memodifikasi ceritanya jadi Shinta yang menyelamatkan Ramayana (forgive me if I make mistakes in writing the names). Anjani berpikir bahwa perempuan juga bisa jadi hero, jadi pihak yang justru menyelamatkan prianya. Wow! Progresif! I like that, Anjani! Lalu ketika malam dia berhubungan badan sama Laut, Laut berpikir bahwa komik mural yang digambar Anjani ada benarnya, bahwa malam itu, Laut-lah yang diselamatkan oleh Anjani dari teriakan, siksaan, dan sengatan listrik para tentara yang terus berdengung di telinganya. Em, so, you mean that WOMAN can save or rescue her man, by OFFERING sex? Really? Isn't there any other way that woman can do yang lebih melibatkan hubungan emosi interpersonal? Again, I'm not against sex itself. Sudah hubungannya cenderung terburu-buru, perempuan malah terkesan dijadikan objek pemuas nafsu seperti itu. Okay, I might not have had that kind of relationship, or even done that before, jadi mungkin aku ga ngerti kalo berdasarkan banyak penelitian, sex merupakan stress reliever. Okay, pardon my recklessness.

Now we move on to Asmara's part. Bagian ini sangat bagus. Penggambaran keluarga Asmara, perasaan dan keputusasaan Asmara, bahkan traumanya Alex, semuanya sukses mengaduk hati. Tapi tidakkah kalian penasaran apa rasionalisasiku bilang begini? Aku bisa mengerti kenapa feelings di bagian Asmara justru malah lebih terasa. Leila Chudori punya background sebagai wartawan TEMPO. Dan aku tau, dalam proses penulisan buku ini, Leila mewawancarai keluarga aktivis supaya bisa dapat gambaran konkret bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan. See the connection? Tajamnya pengamatan Leila sebagai wartawan tertuang dalam tulisan yang investigatif dan deskripsi perasaan keluarga aktivis di bagian Asmara. Tapi Leila kurang bisa menggambarkan perasaan aktivis yang harus disiksa, meskipun penyiksaan tersebut tetap saja kejam dan siapapun pasti akan merasa ngeri saat membacanya, tapi Leila tetap tidak bisa membayangkan atau menggambarkannya secara akurat. Because they needed to live to tell the tale so Leila could gather testimony. But since there is no one, it all vanished along with them. Itu sebabnya, bagian Laut di awal buku sangat bergantung pada plot alias plot-driven, serta character-driven di bagian Anjani.

Anyway, this historical book is good if you want to read about Indonesia's dark past. Saranku, kuatkan hati, karena kekejaman di dalamnya akan mengoyakkan hati tanpa belas kasih.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Sadam Faisal.
115 reviews18 followers
March 18, 2018
Untung ada sedikit selipan humor di dalam buku yang mengaduk-aduk emosi ini. Abis baca buku ini cuma bisa marah. Marah kepada pemerintah yang membiarkan kasus ini & beberapa kasus HAM lain tidak di anggap serius dan diselesaikan. Marah dan juga malu kepada diri sendiri karena selama ini ga berbuat apa-apa.
Profile Image for risal.
19 reviews4 followers
April 22, 2021
Ekspektasiku terhadap buku ini sudah cenderung rendah bahkan sebelum membacanya. Dari novel Pulang, Leila terlihat menulis cerita berlatar sejarah yang ujung-ujungnya romance. Bukan kisah cinta yang se-powerfull Minke dan Annelies tentu saja. Meskipun juga tidak semenye-menye teenlit.

Berikut adalah gerutuanku selama proses membaca Laut Bercerita (kalau ga kuat, jangan baca).



Semua serba magak. Mau jadi hisfic, ga banyak detail sejarah yang disajikan. Banyak kejadian seperti ketika dalam pelarian yang alurnya terlalu cepat, padahal kita tahu chaos dan horrornya saat 1998. Kalau digambarkan lebih detail, tentu akan menambah atmosfer tegang. Mau jadi romance, kisah antara Anjani dan Laut terlalu datar. Kisah Laut dan keluarganya terlalu minim. Ujungnya ga ada empati pada kehilangan mereka. Padahal aku melankolis.

Pujian untuk Laut yang menulis "Rizqi Belum Pulang". Ya, bagian kedua memang akan lebih bagus kalau dijadikan cerpen. Ga perlu jadi novel 300 halaman yang daya tonjoknya ga lebih baik dari cerpen. (Kesimpulan: Laut lebih baik daripada penciptanya.)
Profile Image for Missy J.
618 reviews100 followers
April 3, 2022
I tagged this book as "historical fiction" even though it deals with a subject that happened only a little over 20 years ago. In 1998, Suharto finally stepped down from power after ruling Indonesia for 30+ years. In the 90s, there were a lot of protests calling for his resignation, most famous the Trisakti Tragedy, in which four unarmed students were shot dead by the military. Students were at the forefront of the protests and there are still unresolved issues of kidnapped students whose whereabouts are still unknown and whether they are still alive. That's the subject of this book.

“Laut Bercerita” is a wonderful book title. "Laut" means "ocean," but is also the first name of the protagonist. "Bercerita" means "to tell a story." I love how the author structured the novel; every chapter title gives us the location and year of the setting. The first half of the book is narrated by Laut, while the second half of the book is told by Asmara, his younger sister. The first chapter of the book already hits you with a splashing wave and I was gripped by a feeling of suspense and excitement. I had to continue reading. No wonder “Laut Bercerita” has such high ratings. Laut is in university and joins a student organization fighting for democracy in Indonesia. We learn a lot about the friendships within the group, how they organize, discuss and finally how they were kidnapped and tortured. Laut is one of the students who is never returned to his family. The second half of the book deals with this uncertainty and how his family and friends suffer.

Even though this is a fictional story, you can tell that the author interviewed and talked to real life subjects. We learn about the friendships of Laut, his relationship with his parents and his sister, his blooming romance with Anjani, his love for cooking and writing. I really enjoyed getting to know all the characters. Alex was my favorite, even though I find it hard to believe that such a person could exist. Suspicions arise within the organization. Somebody is leaking information to intelligence agents, which is why their attempt to help stage a protest with peasants fails. Who is betraying them?

This was my first time to read a book by Leila Chudori and I really enjoyed this. Her language flows smoothly. I've heard of Pulang, but have been hesitant to pick it up. Laut Bercerita has very high ratings, so I wasn't too worried. Laut Bercerita is in the process of being translated into English by the same translator who did Pulang's translation. I really hope the translator does Laut Bercerita justice, because this is a really important story for Indonesians. This history isn't too long ago, there are still families suffering and looking for answers. The scene of Laut's parents cooking the family meal every Sunday, listening to the Beatles and always laying out a plate for Laut even though he has been missing for several years is truly heart-breaking. The current government of Indonesia is allowing more freedom of speech than before, but has still not shown real commitment for an open dialogue to take place regarding this issue - where are the missing students? Sadly, some of Suharto’s croonies are still in power behind the scenes and don't want to face justice and reality.

"Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti 'Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama.'"

A 20-minute short documentary with English subtitles that I found on Youtube on this subject: Tuti Koto, the mother of Yani Afri, an activist who is still missing.
Profile Image for Khai Jian (KJ).
550 reviews59 followers
September 9, 2020
"Refusal is a tactic for survival. Refusing to believe that they were kidnapped, refusing to believe they were killed. All of them. All the ones who hadn't returned"

The Sea Speaks His Name is a true-story inspired novel written by Leila S. Chudori (intially published in Indonesian as Laut Bercerita) which sets in the Suharto era. The first half of the story was told from the point of view of Biru Laut and revolves around a group of student activists who were kidnapped and brutally tortured by the "Elang" (Suharto's elite military force). Some of them were released upon the resignation of Suharto in 1998 but the unfortunate ones remain missing until today. The second half of the story was told from the point of view of Asmara (Laut's sister) and the author delved into the struggles and mentality of the family, relatives and friends of the missing activists in dealing with such incident.

This book gives me goosebumps all the way! It is UNPUTDOWNABLE! It reveals the blatant disrespect of democracy and human rights by Suharto and how the Indonesian student activists reacted to the dictator's New Order government. Chudori is such a talented writer. Her character work is impeccable. The inner struggles, conflicts and dynamics between the characters are all properly fleshed out. Not to mention that Chudori had to impute a lot of historical facts in this story whereby there is no single strand of "info dumping" feeling at all. It was done in such a subtle manner and the whole story is so atmospheric with her beautiful yet not flowery writing. I am really impressed. I also love the fact that she has included a lot of literary references (especially the books that were banned during the Suharto regime) which played an important role in the protests of the student activists. What comes out as impactful to me in this story is the epilogue. It was executed in perfection and provides the perfect ending to this story.

This is indeed a tragic story but at the same time, inspiring. It is the kind of story that reminds us of the power of democracy to which dictators and politicians are afraid of. Such fear leads them to suppress democracy with whatever means, but at the end of the day, the right shall prevail. No doubt, this is a strong 5/5 star read to me.
Profile Image for Astrid.
30 reviews5 followers
May 10, 2020
"Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali"

Penggalan sajak pada halaman awal ini saja sudah membuat saya merasa "nyesek".
Novel ini menceritakan tentang kehidupan yang penuh perjuangan dari seorang laki-laki bernama Biru Laut yang merupakan seorang mahasiswa sekaligus aktivis yang memperjuangkan sebuah tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih baik bersama dengan sahabat-sahabatnya.
Gelapnya pemerintahan pada masa tersebut, masa Orde Baru namanya, tak membuat Laut dan sahabat-sahabatnya gentar. Diskusi demi diskusi, aksi demi aksi mereka lakukan dengan gencar, seolah-olah ancaman, gertakan dan penyiksaan yang telah mereka alami tidak cukup mampu memadamkan kobaran api semangat dalam diri mereka demi mewujudkan sebuah cita-cita, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih baik lagi.

Dalam buku ini terdapat banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang sampai saat ini masih bisa kita temukan, mulai dari tentang kehilangan, kekeluargaan, persahabatan, pengkhianatan dan lain-lainnya.
Meskipun saya sudah mendapat bisikan-bisikan bahwa buku ini sangat bagus, saya tidak mau percaya begitu saja. Ketika membacanya sendiri ternyata buku ini jauh melampaui ekspektasi, saya kira isinya soal penyiksaan melulu nyatanya tidak, bahkan saya tidak menyangka di dalamnya juga memuat kisah percintaan.
Perasaan sehabis membaca buku ini begitu melekat, begitu menyesakkan, dan meninggalkan kesan yang amat mendalam. Mengingat tak sepenuhnya kejadian didalam buku ini merupakan fiksi belaka, karena buku ini ditulis berdasarkan inspirasi dari mereka-mereka yang pernah diculik pada masa itu. Saya jadi punya pandangan tersendiri terhadap pergerakan aktivis pada masa itu dan masa kini yang tidak bisa saya bagikan.

Buku ini nyaris saja sempurna, tanpa kurang dan celah, tapi pada halaman 167 saya menemukan sebuah ketidak-konsistenan dalam penggunaan kata ganti tokoh disini.
Tadinya kata ganti yang digunakan disini adalah "Aku" tiba-tiba berganti menjadi "Saya", bukan kesalahan besar tapi hal ini cukup mengganggu.
Selain itu, saya merasa ada terlalu banyak tokoh yang disebutkan didalam cerita ini, sehingga saya dapat menemukan tokoh yang peran dan kaitannya tidak terlalu diperlukan karena tidak terlalu berpengaruh terhadap keseluruhan cerita.
Meskipun demikian, buku ini sangat bagus, bagaimana tidak? Saya saja sampai menangis ketika membacanya.

Alur yang digunakan dalam buku ini adalah alur maju dan mundur yang saling memiliki keterkaitan, meskipun begitu alurnya sama sekali tidak memusingkan. Narasi yang detail membuat saya seolah-olah turut merasakan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Banyak sekali kutipan-kutipan mengenai kehidupan yang saya dapatkan melalui percakapan tokoh-tokohnya.
Oh iya, mengenai plot twistnya, saya sama sekali tidak menyangka dan tidak bisa menebak-nebak juga tentang siapa yang menjadi pengkhianat di antara mereka. Sangat tidak tertebak, keren!

Pokoknya, buku keren ini menjadi salah satu buku yang harus dibaca generasi muda Indonesia!!!

Terakhir, untuk mengakhiri ulasan ini, berikut merupakan salah satu kutipan yang menarik :
"Kau selalu kelihatan tak nyaman dengan beberapa kawan. Dan insting seperti itu memang penting dipelihara. Tetapi kau harus berhati-hati. Yang mencurigakan dan banyak tingkah belum tentu sang pengkhianat..."
Profile Image for dina.
246 reviews90 followers
January 4, 2021
"Dia juga berpesan agar kau hati-hati. Katanya Bapak dan Ibu ingin melihatmu di dapur dan duduk di meja makan bersama mereka."


Tengkleng and gulai are meals that unite Laut, Asmara, and their parents. Within their small family, literature and art were profoundly exchanged, it's flowing deep in their veins. It was two years after the disappearance of Laut, yet the three of them remained seated on their chairs, waiting for their oldest child to come back home. He didn't.

1998's monetary crisis and the fall of Soeharto's dictatorship had never been as close as the time I started became a college student. My history teacher during high school was eager to show us documentraies: Senyap or The Look of Silence (2014) and Jagal or The Act of Killing (2012) as an alternative to perceive PKI (Communist Party of Indonesia) and Soeharto's presidency through a different light. Back then, I could only comprehend just so much about the contemporary history of Indonesia. Now, after the Omnibus Bill has passed and KPK's function (a legitimate institution to investigate corruptions) was debilitated, massive demonstrations broke out. As a member of journalistic club, I obtained comparisons between demonstration that happened during the regime of Soeharto and the one that happened just now.

Back then, students tried to gather masses with tremendous fear. Missing people was not just a figment in that era; it was as real as penembakan misterius (mysterious gunshot) toward people who were suspected as the enemies of the government. Democracy, on the other hand, was a myth. News and journalism were fabricated and Pramoedya Ananta Toer as well as other radical authors' literatures were officially banned. Imagine living in such dreadful era for 31? 32? years.

Laut Bercerita (also known as The Sea Speaks His Name) is a literary work inspired by a real event of our history. Upon reading the prologue and its acknowledgement page, I was already teared up. At that moment, I just finished my researches on Pam Swakarsa which led me to read more about Tragedi Semanggi (Semanggi Shootings); the story of a mother seeking for justice for her son that was killed, the continuous act of demonstration seeking for the answer after twenty years or so have passed. Laut Bercerita emphasized that; the activism of college students against the previous corrupt government, the missing people, and the family that suffered from such great loss. It is also about finding love and home in the spite of terror and threats.

The activists were agitated for a change, but in the process, they also had to undergo a series of torture from their own oppressive country. It's an adjacent topic that still leaves a room for fear in our and older generations, it doesn't get old in the spite of reformation. Aksi Kamisan that's held every Thursday, inspired by 'Mothers of the Plaza de Mayo' in Argentina, is a proof that this part of our history can never be erased.

One of Laut Bercerita's main settings is in my hometown, thus most of the part feels really close and I could vividly imagine the scenarios. Various references of literature and International human right violations that happened prior to the main event of this book were mentioned all the time, which for me, feels more like a generous input from Chudori so that the readers could actually do a further research about those issues notwithstanding work of fiction that this book is instead of a mere pretentious move.

Romance and the reminiscence of homemade food are slipped inside this book like an offering for safety, but even that was not sufficient to prolong the danger that lurked among them. Dream was postponed in order to trace the trails of Asmara's missing brother. Food had become cold and a particular someone's plate was empty but remained to be served on the table.

This book is a manifestation in a form of fiction that we, as Indonesians, shall not forget the history that both shaped and became the foundation of this nation. To reach this point and end a facist regime, massive power was enforced and most of them was also brutally dimmed by the government. There are mothers and siblings going down to the streets up until now, demanding for justice for their missing children and brothers.

Although the sea might as well be the last witness of the activists' bodies, their fight and resistance is a story that will be retold a million times. Although Laut's instant noodles recipe and mother's dishes gradually felt distant and alien for Asmara, she still woke up every day to take care of her patients as well as to voice out the human rights that had yet to be fulfilled out of love.
Profile Image for Marina.
2,030 reviews344 followers
December 26, 2017
** Books 289 - 2017 **

Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2017

4,5 dari 5 bintang!


"...Pasti itu bukan sesuatu yang mudah, tetapi aku menyadari, mencari kebenaran tentang apa yang terjadi pada kami adalah sebuah perjalanan panjang. Jika jawaban yang kalian cari tak kunjung datang, jangan menganggap bahwa hidup adalah serangkaian kekalahan. Di dalam upaya yang panjang dan berjilid-jilid itu, pasti ada beberapa langkah yang signifikan. Aku tak tahu Indonesia macam apa yang kalian alami sekarang,aku harap jauh lebih baik dibandingkan di masa hidupku dan aku harap tak ada lagi penculikan dan pembunuhan terhadap mereka yang kritis " (Halaman 366)

Ada perasaan sedih yang tercekat dalam hati ketika menyelesaikan buku ini. Kisah Leila S Chudori selalu berhasil membuat saya menjadi merenung akan arti keadilan yang sesungguhnya di negeri ini. Bagaimana nasib Laut-laut lainnya yang sejak jaman orde baru hingga sampai saat ini benar-benar hilang ditelan bumi?

Recommended Indonesia Historical Fiction! >_<
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
241 reviews29 followers
February 11, 2018
Sedih, teramat sedih. Betapa kehilangan adalah awal dari penyangkalan dan hidup dalam bayang-bayang.

Novel ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah kisah Biru Laut: seorang aktivis mahasiswa yang mengalami penculikan dan penyiksaan di era Orde Baru. Bagian kedua adalah kisah Asmara Jati, adik Biru Laut: seorang dokter yang sekligus menjadi anggota Komisi Orang Hilang untuk melacak jejak sang kakak.

Amat suka dengan tulisan Leila S. Chudori ini, meski menurut saya di beberapa bagian memaksakan. Misalnya, ketika Laut dan anjani bercinta ketika keadaan masih genting, ataupun Alex dan Asmara yang menurutku merusak mood sedih yang telah dibangun.

Ketika saya membaca, saya teringat lirik Linkin Park "One More Light"

In the kitchen, one more chair than you need

itu adalah lirik lagu tersedih buat saya, dan narasinya ada di novel ini.
Profile Image for Mobyskine.
1,029 reviews153 followers
February 3, 2023
Tertarik dengan latar naratif yang bawa aku ke rentang waktu sekitar tahun-tahun pemerintahan otoriter dan penculikan aktivis-aktivis pra reformasi 98; tentang mereka-mereka yang menentang Orde Baru, disergap, dikurung, dipukul dan dihilangkan dengan paksa.

"Kita tak bisa hanya menelan informasi yang dilontarkan pemerintah. Mereka bikin sejarah sendiri, kami mencari tahu kebenaran. Kita tak bisa diam saja hanya karena ingin aman."

Penceritaannya yang dari awal sudah digarap sekali ending-- jadi aku tahu yang Laut tak akan kembali. Mengikut perjalanan Laut dari awal dia bersama gerakan mahasiswa, bergabung unjuk rasa dan protes. Laut yang gemar berkongsi perihal bacaan-- tentang buku-buku dan penulis-penulis kegemaran, puisi-puisi dan terutamanya karya-karya Pram yang diharamkan; tentang diskusi pemikiran penulis-penulis yang menjadi lonjakan inspirasi bagi anak-anak muda ini bangun menentang. Suka sekali details dan babak-babak yang bercerita tentang teman-teman Laut (walau ada terkilan sedikit dengan salah seorangnya); tentang Kasih Kinanti yang cekal, perihal Alex dan Sunu, Gala Pranaya si penyair, juga sewaktu Laut bertemu Anjani yang sedang memotret mural kisah Ramayana di Rumah Hantu.

Perinci naratif yang deskriptif, namun alur ceritanya tak terasa berat. Bahagian I yang berselang antara kisah imbas semula dan Laut yang sedang 'dihukum' sebelum dilupus jejak oleh kumpulan militer Elang. Laras bahasa yang kemas dengan dialog-dialognya yang menyentap, penuh semangat dan kadang agak kritis. Intens dan saspens!

"Kita harus mengguncang mereka. Kita harus mengguncang masyarakat yang pasif, malas dan putus asa agar mereka mau ikut memperbaiki negeri yang sungguh korup dan berantakan ini, yang sangat tidak dihargai kemanusiaan ini..."

Bahagian II diisi perspektif daripada Asmara Jati, adik Laut selepas Laut diculik jadi agak meresah dan sedih sedikit di bahagian ini. Tentang keluarga-keluarga yang mengharap khabar, bergabung dengan Tim Komisi Orang Hilang mencari informasi serta kisah-kisah investigasi sehingga bergabung ke Istana Negara.

Naskhah ini tidak terlalu 'sastera' atau tertumpu hal politik; lebih mengutara kepada idea dan perihal perjuangan, konsekuensi dan keganasan militer itu sendiri. Fiksyennya juga serba kena bagi aku yang masih gemar selitan drama keluarga dan personal, persahabatan dan perihal harian. Inspiratif dan menggugah empati dan emosi, terutamanya bila kasus penghilangan paksa itu sendiri secara realitinya masih ada yang belum ditemukan.

Sebuah fiksyen refleksi sejarah yang amat bagus. 4.5 bintang untuk Laut Bercerita!
Profile Image for Ipeh Alena.
526 reviews20 followers
January 18, 2018
Apa yang dituturkan dalam cerita di dalam novel ini. Masih tentang tragedi 1998, karena memang sudah semestinya kita "Menolak Lupa" pada setiap kejadian yang pernah menghilangkan secara paksa manusia yang masih bernyawa. Dengan kompleks cerita yang lebih lengkap, hingga proses awal mula mereka membangun organisasi sampai momen ketika menghadapi penyiksaan.

Penggalian emosi yang cukup mengaduk-aduk perasaan, terlebih ini diangkat dari kisah yang memang terjadi di negeri ini, membuat cerita menjadi semakin terasa baik itu mengharukan, menegangkan hingga menyakitkan. Setidaknya, memang ada harga yang harus dibayar mahal untuk sebuah kebebasan.

Perjuangan mereka yang menghilang tanpa jejak dan tanpa makam untuk didoakan. Memang menjadi sebuah pesan yang terngiang-ngiang dalam sejarah kelam bangsa ini.

Matilah engkau, mati
Kau akan lahir berkali-kali
~ Calzoum Bachri


Saya pun sempat bertanya-tanya dalam hati, "kalau perjuangan menuntut kebebasan itu tak pernah ada. Akankah saat ini kita akan mudah menikmati karya-karya Pramoedya atau Ben Anderson ?"
Profile Image for Syifa Luthfianingsih.
246 reviews95 followers
January 6, 2022
Did I finish the book or did the book finish me… can’t even tell.

Told in the perspectives of Biru Laut and his sister, Asmara, this book is the story of the Desaparecidos of Indonesia in the waning days of the Suharto regime in the 1990s, and the aftermath of the abduction. It rubs at the painful layers of loss and the life hollows left behind. A powerful book that tugs my heartstrings and it certainly brought more questions in my head about my own nation’s history.

Buku ini perlu kuendapkan dulu selama tiga tahun sebelum akhirnya berani untuk kuselesaikan sebab muskil untuk membaca ini tanpa menangis kencang, lalu terpaku lama, hingga ceritanya begitu melekat hingga sekarang.

“Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.”
Profile Image for Vanda Kemala.
233 reviews66 followers
November 19, 2017
Seperti biasa, Leila S. Chudori nggak pernah mengecewakan bikin emosi jadi haru. Buku ini apik dari sebuah riset yang ciamik.

Kira-kira Biru Laut Wibisana ini dulu mimpi apa ya, sampai akhirnya jadi salah satu aktivis yang dihilangkan? Perjuangannya bareng sebuah kelompok aktivis, Winatra, melawan pemerintahan diktator nan korup yang bertahan selama 32 tahun, ternyata berbuah nyawa bahkan jasadnya hilang. Nggak ditemukan sampai hari ini.

Sama sekali nggak bisa bayangin gimana para aktivis itu ditendang, dipukuli, disuruh tidur di atas balok es, bahkan disetrum, hanya demi sebuah informasi yang padahal jawabannya nggak diketahui sama korban. Cerita ini beneran bikin flashback kejadian di tahun 1998, pas kejadian reformasi dan lengsernya the smiling general itu.

Bukan Leila S. Chudori juga, kalau nggak menyelipkan cerita cinta yang manis, tapi yah... begitulah, sering kandas tanpa ujung.

Secara keseluruhan, SUKA BANGET sama buku ini. Tapi balik ke selera masing-masing, bagiku, PULANG tetap nggak terkalahkan.

5 bintang tanpa keraguan sedikit pun!
Profile Image for vee.
885 reviews350 followers
Read
October 9, 2022
lom sls sih tp 'update' aj krn kalo ky gini trs kekny bakal butuh berminggu2-bulan2 utk selsain. sejauh ini : tdk sesuai ekspektasi (which was high setelah Pulang), alur sangat2 lambat dan entah knp povs nya, pembawaan karakter yg kt ikuti ga se compelling (not even close) spt ketika berada di kepala orang2 kaya dimas/vivienne/lintang/alam. mungkin utk enjoy ini lebih, aku hrs stop comparing mrk tp susah secara aku pick ini up stlh Pulang padahal laut bercerita jauh lbh terkenal dr yg itu. i didnyevenknow Pulang existed sblm i stumbled across it accidentally di perpus, sedangkan laut bercerita udh di listku since forever

anyway. epilogue nya menarik, bikin penasaran for sure tp ini ko kerasa ky baca wikipedia, aga flat dan ngebosenin. i came here bkn utk topiknya (aktivis & segala macam) jujur, walau memang aku pengen tau jg. tapi main reason nya krn ka leila di Pulang keren, penulisan dan segala macam drama yg setiap karakter tempuh seru bgt. cuman yaa, ini ko ga gitu dan bkn brarti lbh jelek, tp mungkin bkn buatku
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Alvina.
714 reviews115 followers
November 2, 2017
Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan


Menggulingkan pemerintahan yang akarnya telah merambat selama puluhan tahun tentu bukan perkara mudah. Terlebih bila teror dan paksaan mencengkeram para rakyatnya . Keluarga konglomerat itu semakin kaya, sedangkan rakyat makin diperas dan menderita. Kemiskinan, ketidak bebasan berpendapat, pengekangan serta diskriminasi membuat beberapa orang "gatal" dan bergerak diam-diam. Laut termasuk di antaranya.

Namanya Biru Laut, mengambil kuliah jurusan sastra Inggris di salah satu universitas di Yogyakarta pada tahun 1991-an. Ia bergabung dalam kelompok Winatra, yang bertujuan untuk membantu rakyat yang ditindas pemerintah dengan semena-mena. Bersama Sunu, Kinan, Mas Gala, Daniel, Alex, Julius dan masih banyak lagi, mereka mengobarkan semangat bagi rakyat dan mengajak pemuda lain yang memiliki misi seperti mereka untuk bergabung dan melangkah bersama.

Tentu saja pemerintah tak tinggal diam. Beberapa kali pergerakan mereka diikuti dan diawasi, bahkan juga digagalkan. Tapi semangat untuk melihat Indonesia yang lebih baik terus membuat mereka saling mendukung satu sama lain. Meski mereka berkali kali pindah markas, bersembunyi dari kejaran intel, tapi toh tetap saja mereka juga pernah diinterogasi dan "diberi peringatan".

Begitulah Laut bercerita di dalam buku ini, tentang mereka yang melawan dan dihilangkan secara paksa. Tentang mereka yang diculik dan dikembalikan ke haribaan segara, bukan kepada keluarga.




Jujur saja saat membaca buku ini di awal-awal cerita, tak besar ekspektasi saya. Satu satunya motivasi saya membaca buku ini adalah karena saya menyukai Pulang, karya Leila Chudori sebelumnya. Dan karena covernya yang cakep, juga atas rekomendasi dari Marina yang kadang bacaan favoritnya beririsan sama saya. Eh lha kok ternyata saya suka sama kisahnya Laut ini.

Membaca kisah Laut seakan saya ikut menyaksikan kekejian yang mereka alami secara langsung. Saya ikut sakit hati, deg-degan, juga penasaran dengan gerak dan perjuangan mereka yang mencoba membela rakyat yang ditindas penguasa. Selama ini saya hanya tahu ketakutan saat reformasi terjadi dan pemerintahan digulingkan pada tahun 1998. Tapi setelah membaca kisah Laut, ternyata episode itu hanya titik kulminasi dari serangkaian episode panjang, jauh dari tahun-tahun sebelumnya.

Tak hanya sampai pada peristiwa itu, buku ini juga menceritakan "babak" baru yang dialami keluarga dari para korban penghilangan paksa setelah reformasi terjadi. Selain para keluarga, para korban penculikan yang dipulangkan dengan selamat ternyata juga tak lagi "utuh". Ada lubang dalam jiwa dan rasa trauma yang membuat mereka tak lagi sama memandang bagaimana rasanya hidup.

Sebuah buku yang penuh konflik, tema yang apik dan alur yang menarik. Sedikit koreksi hanya saya temukan di beberapa bagian buku yang tak konsisten dalam menggunakan kata ganti saya - aku dalam satu paragraf oleh tokoh yang sama.

Kalau kamu suka dengan novel Pulang atau novel dengan tema-tema sosial sejenis, saya yakin kamu akan suka novel Laut Bercerita ini. Selamat membaca 😘
Profile Image for gloria.
88 reviews8 followers
September 23, 2020
ok. mari mulai dengan review yang panjang ini.

Tidak pernah menyangka buku ini akan jadi salah satu buku yang paling berpengaruh di hidupku. Buku ini menjadi satu kacamata baru bagiku melihat Indonesia 3 dekade belakang yang pernah menjadi suatu realita negara Dystopian. Semua yang ada dalam buku ini ditulis dengan sangat apik oleh Leila Chudori. Dengan segala deskripsi yang begitu detail dan teratur, aku benar-benar serasa ditarik kembali ke Indonesia pada tahun 90an. Artikel tentang penculikan aktivis, peristiwa reformasi, jadi santapan selama baca buku ini.

Selama baca buku ini emosiku terkuras habis. Karena emosiku yang juga ikut terbawa selama baca, tidak heran aku sering sekali menangis membaca beberapa kejadian di dalam buku ini. Tanpa keluhan dan rasa bosan, aku bahkan rela baca buku ini hingga larut malam. Diakhir baca buku ini, membaca chapter yang paling terakhir, aku menangis begitu gila. Jujur bahkan aku lupa kapan terakhir kali menangis se-sesegukan itu. Oh, bukan lupa tapi mungkin tidak pernah.

Karakter bernama Kasih Kinanti jadi yang paling aku favoritkan. Seorang pejuang wanita sekaligus kepala dan otak pergerakan dalam novel ini. Aku selalu membayangkan banyak “Kinan” yang memang menjadi tokoh perlawanan dalam peristiwa kerusuhan 98’ dan juga sedih membayangkan bagaimana mereka rela menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Selain Kinan, tentu saja Biru Laut. Namanya jujur sangat cantik, sehingga awalnya aku mengira Biru Laut adalah seorang perempuan.

Banyak yang aku dapatkan dari novel ini, yang kurasa tak bisa kujabarkan semuanya. Namun, yang tentunya paling membekas adalah tentang perlawanan.
Perlawanan juga menjadi bukti masih adanya kesadaran untuk berubah atau mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Tanda bahwa ada kemarin yang menyedihkan yang telah penat dirasakan dan kita memilih memperjuangkan besok yang lebih menjanjikan. Dan menjadi sebuah harapan baru untuk memiliki kebebasan dan kebahagiaan diri sendiri.

Terakhir, aku akan terus menolak lupa tentang mereka semua yang dihilangkan pada masa itu. Karena aku sadar, merekalah alasan Indonesia mencium kemerdekaan untuk kedua kalinya pada tahun 1998.

Untuk mereka yang dihilangkan, namun tetap hidup selamanya....
Displaying 1 - 30 of 3,559 reviews

Join the discussion

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.