Arief Bakhtiar D.'s Reviews > Sewindu

Sewindu by Tasaro G.K.
Rate this book
Clear rating

by
17674849
's review

it was amazing

SEWINDU

KALAU Anda diberi hidup sampai sebuah pernikahan yang berjalan sewindu (dan tentu, dengan kuasa Tuhan, masih akan terus), apa yang Anda pilih untuk diceritakan?

Tidak semua orang punya jawabannya; tidak semua orang seperti Tasaro. Pertengahan tahun 2013 ia selesai menulis Sewindu—biografi yang dicetak dalam halaman-halaman memikat oleh Penerbit Metagraf dari Tiga Serangkai.

Tasaro akan menjawab, pertama-tama, dengan kisah tentang seorang anak dari pegunungan gersang di selatan Pulau Jawa, yang membelah tomat dari kebun dan menambahi gula lalu menyeruput sarinya kalau tak ada air bersih. Yang berbeda dari masa kecil itu ketimbang masa sekarang adalah: ia bisa leluasa makan nasi putih ditambah garam tanpa merasa miskin, dan tak sungkan-sungkan memakai pakaian bekas saudara.

Saya kira menarik: tanpa merasa miskin—mungkin juga berarti selalu bahagia. Dengan membawa perasaan semacam itu Tasaro hidup berpindah-pindah mengikuti ibunya, dari kontrakan ke kontrakan. Barangkali karena itu perkembangan akademisnya tidak terlampau baik. Nilai ujian akhir Tasaro tegolong pas-pasan, sampai-sampai tidak ada SLTA negeri di kota yang mau menerimanya.

Tapi dia bahagia: anak ini percaya kepada buku—seumur hidupnya. Ibunya yang seorang kepala sekolah membuat ia dengan mudah menikmati buku-buku di perpustakaan sekolah kapan saja. Ia menyebut kegiatan membaca buku dengan “pesta”—pesta sendirian, tentu, karena di kampung jarang ada anak yang gemar membaca. Karya yang paling ia ingat, sebuah cerita dari negeri Prancis: Pangeran Kecil (dalam bahasa Prancis: Le Petit Prince) karangan Antoine de Saint-Exupéry. Bagian yang paling berkesan dalam cerita itu: gambar mirip topi yang dibuat sang “Aku”. Sang “Aku” kemudian mencari komentar orang-orang dewasa, apakah takut atau tidak. Semua orang dewasa menjawab “tidak”, sebab itu hanya gambar topi. Maka “Aku” memperjelas bagian yang menggelembung dalam gambar. Di situ digambarnya seekor gajah. Rupanya gambar itu tidak sesederhana sebuah topi. Ada bayangan yang lebih mengerikan: gambar seekor gajah dalam perut ular boa. Dan karena itu Tasaro menyukainya: sebuah fragmen dalam Pangeran Kecil itu menawarkan khayalan yang tak terbatas bagi hal-hal terbatas yang dimiliki lelaki cilik itu.

Tapi menyukai buku sejak kecil bukan jaminan ia terlatih dalam membaca kitab. Ia memang cukup sukses menuai apa yang dilakukan sejak kecil dengan menjadi wartawan, tapi ia juga penuh sesal. Salah satu yang disesali Tasaro adalah ia baru belajar hijaiyah pada umur 22 tahun. Dan terlambat mencintai Muhammad (nama seorang Nabi itu bersliweran dalam hidupnya, tapi tidak pernah nyantol). Toh saya kira ia punya keberanian yang patut dipuji: dalam kondisi itu ia menikah. Meskipun dalam pernikahan itu Tasaro menyadari bahwa dirinya adalah suami yang “tak ahli dalam pekerjaan laki-laki”. Ia, misalnya, tak pandai dalam “mengisi tangki kompor dengan minyak, mencangkul halaman yang tak rata, memasang lampu, membersihkan kamar mandi, memeriksa loteng”. Barangkali cinta yang membuatnya menempuh apa yang tak biasa itu.

Saya tak heran: Tasaro seorang wartawan yang sibuk. Saya menduga ada korelasi antara seorang yang selama hidupnya membaca dan menulis, dalam profesi apa pun yang terbiasa memegang pena (yang beratnya tak sampai satu ons, saya kira) daripada memanggul cangkul. Kemampuan sehari-hari yang lemah itu masih ditambah kenyataan bahwa istrinya tidak pandai memasak. Yang lebih genting dan spesifik: istrinya tidak mau masak daun pepaya kesukaan Tasaro karena rasanya cuma pahit. Itupun masih ditambah, di awal-awal pernikahan, mereka menempuh badai klise sebuah rumah tangga: problem keuangan yang membuat keduanya berhari-hari memiliki menu utama tempe, sambal, dan lalap sawi. Tasaro, yang lambat laun mulai mengenal Islam lebih baik, dengan berat hati juga menghadapi kenyataan tak mampu membelikan baju gamis dan kerudung lebar untuk istrinya yang memang relatif mahal. Apa yang dialami, singkatnya: “lugu, apa adanya, mencari-cari bentuk, dan limbung sana-sini”.

Tasaro mengenang tahun-tahun sulit itu dengan bahagia. Bagi Tasaro, ia pernah lebih miskin. Atau agaknya kita terlanjur sering melihat kenangan pahit sebagai nostalgia indah, mungkin karena sebuah konsep bahwa segala yang pahit itu ada enaknya—seperti daun pepaya bagi Tasaro. Atau kita mengenang dengan bahagia, sebab kita membayangkan sebuah deklarasi: kami telah melewati saat-saat bahagia, dan saat-saat pedih dan benci, dan sampai kini masih bersama. Pada halaman 78 Tasaro menulis bahwa “memahami kekurangan suami atau istri adalah sebuah fase mencengangkan. Sedangkan, menerima kekurangan itu kemudian mengusulkan kompromi logis untuk sebuah perbaikan adalah sebuah tahap yang spektakuler”.

Yang menarik dari Sewindu adalah gaya penceritaannya yang tidak menimbulkan kesan menyebarkan aib satu rumah tangga—meskipun Tasaro sempat mengaku malu. Ia memasukkan sebuah cerita di mana sang istri marah, tapi hanya diam—padahal, menurut pengamatan Tasaro, jelas-jelas lagi jengkel. Ia juga memasukkan cerita, di halaman-halaman akhir sebuah bab, saat istrinya melihat foto-foto milik suami, dan mengecek mana wanita yang dulu menyukai suaminya.

Barangkali dengan begitu Tasaro tidak terkesan menggurui: dalam dirinya terdapat banyak cela yang membuatnya tidak bisa sombong. Tasaro membuktikan sebuah idealisme yang dianutnya, pada halaman 240: “ide yang menyamar menjadi cerita yang mengalir dan tidak menggurui”. Saya kira ia berhasil. Ide-idenya menyusup: mungkin diam-diam ini adalah cerita banyak orang. Dan diam-diam menghapus keraguan tentang bayangan pernikahan awal yang tak sempurna (yang terpendam di hati-hati orang yang belum menikah).

Tentu cerita Tasaro tidak berhenti dalam lingkup kecil rumah tangga. Setelah agak lepas dari problem-problem dasar pernikahan yang menjadi perhatiannya pada bagian pertama, rumah tangga kecilnya mulai diarahkan untuk fokus pada perkembangan masyarakat. Dengan gigih ia mengajak masyarakat menanam palawija (“meskipun bangkrut luar biasa”, katanya), merintis sekolah PAUD, melatih ketrampilan para ibu, dan membuat anak-anak agar terbiasa meminta dongeng sebelum tidur.

Kita tahu pekerjaan Tasaro belum akan selesai. Sewindu bukan waktu yang terlampau panjang, atau terlampau singkat.
1 like · flag

Sign into Goodreads to see if any of your friends have read Sewindu.
Sign In »

Reading Progress

April 29, 2013 – Shelved
April 30, 2013 – Started Reading
May 6, 2013 – Finished Reading

No comments have been added yet.