Lompat ke isi

Belenggu (Buddhisme)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Terjemahan dari
saṃyojana
Indonesiabelenggu
Inggrisfetter
Palisaṃyojana
Sanskritसंयोजन
(IAST: saṃyojana)
Tionghoa
(Pinyinjié)
Jepang
(rōmaji: yui)
Korea
(RR: gyeol)
Bengaliবন্ধন
Myanmarသံယောဇဉ်
(MLCTS: san yaw jain)
Thaiสังโยชน์
(IPA: sǎŋ jôːt)
Vietnamkiết sử
Laoປຸຖຸຊົນ
Daftar Istilah Buddhis

Dalam Buddhisme, sebuah belenggu batin, rantai batin, atau ikatan batin (Pali: saṁyojana, saññojana; Sanskerta: संयोजन, saṁyojana) mengikat mahkluk hidup pada samsara, yaitu lingkaran punarbawa yang disertai penderitaan. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai Nirwana melalui empat tingkat kemuliaan.

Belenggu, bersama-sama dengan rintangan dan berbagai faktor mental tidak baik lainnya, merupakan bagian dari pengotor batin (kilesa).[1]

Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Belenggu penderitaan

[sunting | sunting sumber]

Dalam Tripitaka Pali, kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang pada penderitaan. Sebagai contoh, dalam kitab Itivuttaka (Taṇhāsaṁyojana Sutta, Iti 15)[2] yang merupakan bagian dari Khuddaka Nikāya, Buddha menyatakan:

"Para bhikkhu, saya tidak melihat satu pun belenggu—belenggu yang mengikat makhluk-makhluk yang tergabung untuk mengembara dan berpindah-pindah selama waktu yang sangat lama—seperti belenggu nafsu keinginan. Terbelenggu oleh belenggu nafsu keinginan, makhluk-makhluk yang tergabung untuk mengembara dan berpindah-pindah selama waktu yang sangat lama."[3]

Di bagian kitab suci lainnya, penderitaan yang disebabkan oleh belenggu-belenggu dijelaskan secara tersirat dalam sebuah percakapan teknis antara Sāriputta dan Kotthita dalam Koṭṭhita Sutta (SN 35.232):

Kotthita:
  • "... Apakah mata adalah belenggu bagi bentuk-bentuk atau apakah bentuk-bentuk adalah belenggu bagi mata?
  • Apakah telinga adalah belenggu bagi suara-suara atau apakah suara-suara adalah belenggu bagi telinga?
  • Apakah pikiran adalah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran atau apakah fenomena-fenomena pikiran adalah belenggu bagi pikiran?"
Sāriputta:
  • "...Mata bukanlah belenggu bagi bentuk-bentuk juga bentuk-bentuk bukanlah belenggu bagi mata, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana.
  • Telinga bukanlah belenggu bagi suara-suara juga suara-suara bukanlah belenggu bagi telinga, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ...
  • Pikiran bukanlah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran juga fenomena-fenomena pikiran bukanlah belenggu bagi pikiran, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ..."[4][5]

Daftar belenggu

[sunting | sunting sumber]

Belenggu dijelaskan dan diurutkan dengan cara yang berbeda dalam daftar-daftar di Sutta Piṭaka dan Abhidhamma Piṭaka Tripitaka Pali.

Sutta Piṭaka: sepuluh jenis belenggu

[sunting | sunting sumber]

Sutta Piṭaka dalam Tripitaka Pali menjelaskan sepuluh "belenggu eksistensi atau keberadaan":[6]

  1. percaya ada diri atau roh (Pali: sakkāya-diṭṭhi)[7]
  2. keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)[8]
  3. kelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)[9]
  4. nafsu indrawi (kāmacchanda)[10]
  5. niat jahat (vyāpāda atau byāpāda)[11]
  6. nafsu keinginan atas keberadaan materi, nafsu keinginan atas kelahiran kembali di dunia materi (rūparāga)[12]
  7. nafsu keinginan atas keberadaan nonmateri, nafsu atas kelahiran kembali di dunia tanpa materi (arūparāga)[13]
  8. kesombongan (māna)[14][15]
  9. kegelisahan (uddhacca)[16]
  10. ketidaktahuan (avijjā)[17]
Empat tingkat kemuliaan sesuai Sutta Piṭaka.
Bodhi Punarbawa Belenggu yang disingkirkan
sotāpanna ± tujuh kali;
manusia
atau dewa
  1. pandangan
    identitas
    (anatta)
  2. keraguan
    pada Triratna
  3. kelekatan
    pada ritual
    atau adat
belenggu
rendah
sakadāgāmi sekali lagi;
manusia
anāgāmi sekali lagi,
suddhāvāsa
arahat tidak ada belenggu
tinggi

Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam Sutta Piṭaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat sotāpanna; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), disingkirkan oleh seorang arahat.[18]

Sutta Piṭaka: tiga jenis belenggu

[sunting | sunting sumber]

Dalam Sagīti Sutta (DN 33) dan Dhammasaṅgaṇi (Dhs. 1002-1006), dijelaskan "tiga belenggu" yang sama seperti tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh jenis belenggu menurut Sutta Piṭaka yang telah disebutkan di atas:

  1. percaya ada diri atau roh (Pali: sakkāya-diṭṭhi)
  2. keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)
  3. kelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)[19]

Menurut Tripitaka Pali, tiga belenggu telah diberantas oleh para pemasuk-arus dan kembali-sekali.[20]

Abhidhamma Piṭaka: sepuluh jenis belenggu

[sunting | sunting sumber]

Kitab Dhammasaṅgaṇī dalam Abhidhamma Piṭaka (Dhs. 1113-34) menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan dalam kitab Cuḷaniddesa bagian Khuddaka Nikaya (Nd2 656, 1463) dan pada kitab-kitab komentar. Daftarnya adalah:[21]

  1. nafsu indrawi (Pali: kāma-rāga)
  2. antipati (paṭigha)
  3. kesombongan (māna)
  4. pandangan salah (diṭṭhi)
  5. keraguan (vicikicchā)
  6. kelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)
  7. nafsu atas keberadaan (bhava-rāga)
  8. iri hati (issā)
  9. kekikiran (macchariya)
  10. ketidaktahuan (avijjā)

Kitab komentar menegaskan bahwa pandangan salah, keraguan, kelekatan pada ritual, iri hati, dan kekikiran dapat dibasmi dengan pencapaian tingkat kesucian pertama (sotāpatti); nafsu indrawi yang kotor dan antipati pada tingkat kedua (sakadāgāmitā); perwujudan halus dari belenggu serupa pada tingkatan ketiga (anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu atas keberadaan, dan ketidaktahuan pada tahapan keempat atau terakhir (arahatta).

Belenggu perumah tangga

[sunting | sunting sumber]

Secara khusus, Potaliya Sutta (MN 54), menjelaskan delapan belenggu (termasuk tiga poin dari Pancasila) yang "menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia (Jalan Mulia Berunsur Delapan)" (ariyassa vinaye vohārasamucchedāya saṁvattanti) bagi seorang perumah tangga atau umat awam (upāsaka-upāsikā):

  1. pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipāta)
  2. pencurian (adinnādānaṃ)
  3. kebohongan (musāvāda)
  4. fitnah (pisuṇā)
  5. perampasan dan keserakahan (giddhilobha)
  6. cacian dan kedengkian (nindāroso)
  7. kemarahan dan kejengkelan (kodhūpāyāsa)
  8. kesombongan (atimāno)[22][23]

Belenggu individual

[sunting | sunting sumber]

Belenggu-belenggu berikut ini adalah tiga belenggu pertama yang disebutkan dalam daftar sepuluh belenggu Sutta Pitaka, dan juga dalam daftar “tiga belenggu” Saṅgīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka (DN 33, Dhs. 1002 ff.). Seperti yang ditunjukkan di bawah ini, tersingkirkannya ketiga belenggu ini adalah indikator kanonis bahwa seseorang telah berada di jalan menuju kecerahan.

Pandangan identitas diri (sakkāya-diṭṭhi)

[sunting | sunting sumber]

Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (sering kali merujuk pada pandangan salah, dalam Buddhisme, sebagaimana dicontohkan dalam tabel berikut).

Pandangan enam guru sesat
Pandangan dari enam samaṇa dalam Tripitaka Pali, juga dikenal sebagai enam guru sesat, sesuai Sāmaññaphala Sutta (DN 2).[24]
Pūraṇa Kassapa
Amoralisme
(akiriyavāda; natthikavāda)
Tidak ada pahala atau hukuman atas perbuatan baik maupun buruk.
Makkhali Gosāla (Ājīvika)
Fatalisme
(ahetukavāda; niyativāda)
Kita tak berdaya; penderitaan sudah ditakdirkan.
Ajita Kesakambalī (Carwaka)
Materialisme
(ucchedavāda; natthikavāda)
Hiduplah bersenang-senang; dengan kematian, semuanya akan musnah.
Pakudha Kaccāyana
Eternalisme dan kategorialisme (sassatavāda; sattakāyavāda)Empat unsur, kesenangan, kesakitan, dan jiwa adalah abadi dan tidak berinteraksi.
Nigantha Nātaputta (Jainisme)
Brata
(mahāvrata)
Diberkahi, dibersihkan oleh, dan dipenuhi [hanya] dengan penghindaran terhadap segala kejahatan.[25]
Sañjaya Belaṭṭhiputta (Ajñana)
Agnostisisme
(amarāvikkhepavāda)
"Aku tak berpikir begitu. Aku tak berpikir demikian pula atau sebaliknya. Aku tak berpikir tidak atau bukan-tidak." Penundaan penilaian.

Secara umum, "percaya atas keberadaan diri atau roh" atau, lebih ringkasnya, "pandangan identitas diri" merujuk pada "kepercayaan bahwa dalam satu gugusan atau lainnya terdapat suatu entitas permanen, sebuah atta".[26]

Dalam Sabbasava Sutta (MN 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":

"Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
  • 'Apakah aku ada di masa lampau?
  • Apakah aku tidak ada di masa lampau?
  • Apakah aku di masa lampau?
  • Bagaimanakah aku di masa lampau?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau?
  • Apakah aku akan ada di masa depan?
  • Apakah aku akan tidak ada di masa depan?
  • Akan menjadi apakah aku di masa depan?
  • Akan bagaimanakah aku di masa depan?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’
Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut:
  • ‘Apakah aku ada?
  • Apakah aku tidak ada?
  • Apakah aku?
  • Bagaimanakah aku?
  • Dari manakah makhluk ini datang?
  • Ke manakah makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya ...:
  • ‘ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘tidak ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • 'aku melihat bukan-diri [atau bukan-roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan bukan-diri [atau bukan-roh]’ ...
  • ‘adalah diriku [atau rohku] ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku [atau rohku] ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ ...
Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. [Oleh] karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan."[27][28]

Keraguan (vicikicchā)

[sunting | sunting sumber]

Pada umumnya, "keraguan" merujuk pada keraguan mengenai ajaran Buddha, yaitu Dhamma. (Ajaran-ajaran serupa lainnya ditampilkan pada tabel "Pandangan enam guru sesat".)

Lebih jelasnya, dalam SN 22.84, Tissa Sutta,[29] Buddha dengan tegas memperingatkan tentang keraguan atas Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang dijelaskan sebagai jalur yang benar menuju Nibbāna, memimpin seseorang melewati ketidaktahuan, nafsu indrawi, antipati, dan keputusasaan.

Kelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)

[sunting | sunting sumber]

Sīla merujuk pada "perilaku moral", vata (atau bata) berarti "tugas keagamaan, ketaatan, tata cara, pelaksanaan, adat,"[30] dan parāmāsa berati "kelekatan pada" atau "penularan" dan memiliki konotasi terkait "penyalahgunaan" Dhamma.[31] Secara keseluruhan, sīlabbata-parāmāsa diterjemahkan menjadi "kelekatan pada peraturan dan ritual, kecanduan atas perilaku moral, khayalan bahwa hal tersebut cukup"[32] atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali pada kelekatan atas ritual dan adat."[33]

Sementara belenggu keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran petapa lain semasa Buddha yang berlawanan, belenggu mengenai ritual dan adat sepertinya merujuk pada beberapa adat dari para brahmana.[34]

Memangkas belenggu

[sunting | sunting sumber]
Meditasi atas belenggu

"Di sini, seorang bhikkhu memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … hidung, ... bau-bauan, … lidah, ... rasa kecapan, … badan, ... objek-objek sentuhan, … pikiran [atau batin], ... objek-objek pikiran [atau objek batin], dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana agar belenggu-belenggu yang telah ditinggalkan itu tidak muncul di masa depan. ..."

– Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (MN 10)[35][36]

Dalam MN 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk meninggalkan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" pertama sebagaimana disebutkan sebelumnya) adalah melalui pencapaian jhāna dan pengetahuan vipassanā secara bersamaan.[37] Dalam SN 35.54, "Meninggalkan Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang dianggap meninggalkan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai ketidakkekalan" (Pali: anicca) dua belas landasan indra (āyatana), hal-hal yang sehubungan dengan enam indra-kesadaran (viññāṇa), kontak indra (phassa), dan perasaan (vedanā).[38] Berkaitan dengan hal yang sama, dalam SN 35.55, "Mencabut Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang mencabut belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai tanpa atma" (anatta) landasan indra, indra kesadaran, kontak indra, dan perasaan.[39]

Tripitaka Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:

Hubungan dengan konsep lain

[sunting | sunting sumber]

Konsep tentang belenggu serupa dengan konsep buddhis yang ditemukan di seluruh Tripitaka Pali, termasuk lima rintangan batin (nīvaraṇa) dan sepuluh pengotor batin (kilesa). Sebagai perbandingan, dalam aliran Theravāda, belenggu biasanya mencakupi banyak kehidupan (masa lalu, saat ini, dan masa depan setelah kelahiran kembali) dan sulit dihilangkan, sedangkan rintangan merujuk pada hambatan sementara saat praktik meditasi. Pengotor batin (kilesa) mencakup seluruh pengotor batin, termasuk belenggu (saṁjoyana) dan rintangan (nīvaraṇa).[1]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Anatta, konsep yang terkait dengan belenggu pertama (sakkāya-diṭṭhi).
  • Empat tingkat pencerahan, mengenai penghapusan belenggu-belenggu.
  • Lima rintangan, juga termasuk belenggu keempat (kamacchanda), kelima (vyāpāda), kesembilan (uddhacca) dan kedua (vicikicchā).
  • Upadana (kelekatan), dengan empat jenis kelakatan awal: kelekatan atas kesenangan indrawi (kāmupādāna atau kāma-upadana), pandangan salah (diṭṭhupadānā), ritual dan adat (sīlabbata-upādāna), dan ajaran tentang diri atau roh (attavāda-upādāna).

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Gunaratana (2003), dhamma talk entitled "Dhamma [Satipatthana] - Ten Fetters."
  2. ^ Sujato, Bhikkhu. "Iti 15: Taṇhāsaṁyojanasutta". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-09-12. 
  3. ^ Thanissaro (2001).
  4. ^ Bodhi (2000), p. 1230. Tangentially, in discussing the use of the concept of "the fetter" in the Satipatthana Sutta (regarding mindfulness of the six sense bases), Bodhi (2005) references this sutta (SN 35.232) as explaining what is meant by "the fetter," that is, "desire and lust" (chanda-raga). (While providing this exegesis, Bodhi, 2005, also comments that the Satipatthana Sutta commentary associates the term "fetter" in that sutta as referring to all ten fetters.)
  5. ^ Anggara, Indra. "SN 35.232: Koṭṭhitasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-09-12. 
  6. ^ Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam SN 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  7. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
  8. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).
  9. ^ Sebagai contoh, lihat: Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry Diarsipkan 2012-07-18 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; Thanissaro (2000) menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."
  10. ^ Untuk diskusi yang lebih luas mengenai istilah ini, lihat, contoh., Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry Diarsipkan 2012-07-15 di Archive.is, and p. 274, "Chanda" entry Diarsipkan 2012-07-09 di Archive.is (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkan kāmacchando sebagai "nafsu indria" ("sensual desire").
  11. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan vyāpādo sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" ("ill will") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keengganan" ("aversion").
  12. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan rūparāgo sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" ("lust after rebirth in rūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan bentuk" ("lust for form") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan akan bentuk" ("desire for form"). Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan akan bentuk" ("passion for form"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan dalam Dunia Bentuk" ("craving for existence in the Form World").
  13. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menyarankan bahwa arūparāgo dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" ("lust after rebirth in arūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan ketidakadaan bentuk" ("lust for the formless"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" ("desire for the formless"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "keterikatan akan bentuk murni atau dunia-dunia tanpa bentuk" ("attachment to the pure form or formless worlds") Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" ("passion for what is formless"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" ("craving for existence in the Formless World").
  14. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry Diarsipkan 2012-07-11 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan māna sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" ("pride, conceit, arrogance"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" ("conceit"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "kebanggaan" ("pride"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kesombongan 'Saya adalah'" ("the 'I am' conceit").
  15. ^ Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan akan diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, SN 22.89 (trans., Thanissaro, 2001).
  16. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry Diarsipkan 2012-07-13 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan uddhacca sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan, kegirangan, kebingunan, tergesa-gesa" ("over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" ("restlessness"). Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."
  17. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan avijjā sebagai "kedunguan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" ("ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kedunguan spiritual" ("spiritual ignorance").
  18. ^ Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, DN 33 (bagian kelima) dan AN 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam MN 64.
  19. ^ Untuk daftar dalam Sagīti Sutta mengenai tiga belenggu-belenggu, lihat, contoh, Walshe (1995), p. 484. Untuk daftar tiga belenggu dalam Dhammasaṅgaṇi, lihat: Rhys Davids (1900), pp. 256-61. Lihat pula, Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, entry for "Saŋyojana" Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mengenai i saŋyojanāni. (C.A.F. Rhys Davids (1900), p. 257, menerjemahkan ketiga istilah ini sebagai "teori kepribadian, kebingungan, dan penularan akan hal-hal yang semata-mata merupakan peraturan dan ritual" ("the theory of individuality, perplexity, and the contagion of mere rule and ritual."))
  20. ^ See, e.g., MN 6 and MN 22.
  21. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is merujuk Cula Niddesa 657, 1463, dan Dhamma Sangani 1113. Pada faktanya, keseluruhan bagian dari Dhamma Sangani ditujukan kepada belenggu-belenggu (buku III, ch. V, Dhs. 1113-34), lihat pula Rhys Davids (1900), hal. 297-303. (Rhys Davids, 1900 hal. 297, menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris mengenai istilah-istilah berbahasa Pali: "sensualitas, penolakan, kesombongan, pendapat spekulatif, kebingungan, penularan aturan dan ritual semata, gairah untuk eksistensi baru, iri hati, kekejaman, kebodohan.") (""sensuality, repulsion, conceit, speculative opinion, perplexity, the contagion of mere rule and ritual, the passion for renewed existence, envy, meanness, ignorance.") Pada naskah-naskah setelah masa kanon, daftar ini juga dapat ditemukan dalam komentar Buddhagosa (dalam Papañcasudani) pada bagian Satipatthana Sutta mengenai enam dasar indra dan belenggu-belenggu.(Soma, 1998).
  22. ^ Untuk terjemahan dalam bahasa Inggris, lihat: Ñāamoli & Bodhi (2001), pp. 467-469, dan Upalavanna (undated). Untuk romanisasi transliterasi bahasa Pali, SLTP (undated).
  23. ^ Anggara, Indra. "MN 54: Potaliyasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-09-12. 
  24. ^ "DN 2 Sāmaññaphala Sutta; The Fruits of the Contemplative Life". www.dhammatalks.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 10 July 2024. 
  25. ^ Bhikku, Ñāṇamoli; Bhikku, Bodhi (9 November 1995). The Middle Length Discourses of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikaya (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-Fourth). Simon and Schuster. hlm. 1258–59. ISBN 978-0-86171-072-0. Diakses tanggal 10 July 2024. 
  26. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09). Lihat pula, anatta.
  27. ^ Thanissaro (1997a).
  28. ^ Anggara, Indra. "MN 2: Sabbāsavasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-09-12. 
  29. ^ Thanissaro (2005)
  30. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 597, "Vata (2)" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  31. ^ Ibid., p. 421, "Parāmāsa" entry Diarsipkan 2012-08-01 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  32. ^ Ibid., p. 713, "Sīla" entry regarding the suffix "bbata" Diarsipkan 2012-07-18 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  33. ^ Thanissaro (1997b).
  34. ^ Sebagai perbandingan, lihat: Gethin (1998), hal. 10-13, untuk sebuah diskusi yang dilakukan Buddha mengenai tradisi sramanik dan brahmanik.
  35. ^ Soma, 1998, bagian "The Six Internal and the Six External Sense-bases." Perlu digaris bawahi bahwa hanya belenggu yang diabaikan, bukan organ indra atau objek indra.
  36. ^ Anggara, Indra. "SuttaCentral". MN 10: Mahāsatipaṭṭhānasutta. Diakses tanggal 2024-09-13.
  37. ^ Ñāṇamoli & Bodhi (2001), pp. 537-41.
  38. ^ Bodhi (2000), p. 1148.
  39. ^ Bodhi (2000), p. 1148. Perhatikan bahwa Sutta-Sutta yang menjadi rujukan (MN 64, SN 35.54 and SN 35.55) dapat dilihat saling melengkapi dan konsisten jika, sebagai contoh, menyimpulkan bahwa seseorang perlu menggunakan pencapaian jhanik dan pengetahuan vipassana guna "mengetahui dan melihat" ketidak kekalan dan inti tanpa-diri dari sumber indra, kesadaran, kontak dan sensasi. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai ketidak kekalan dan tanpa-diri, lihat Tiga Corak Umum.
  40. ^ See, e.g., Bhikkhu Bodhi's introduction in Ñāamoli & Bodhi (2001), pp. 41-43. Bodhi in turn cites, for example, MN 6 and MN 22.