Jump to ratings and reviews
Rate this book

Sewindu

Rate this book
Sewindu, sebagai sebentuk ukiran-ukiran kata berjiwa seorang Tasaro GK dalam memaknai dan menghikmahi cinta, bertutur tentang kisah perjalanan hidupnya, mulai dari kehidupan pernikahannya, pergulatannya dengan dunia tulis-menulis, hingga pemaknaannya akan keluarga kecil dan keluarga besarnya. Bergaya tutur lugas, mengalir, dan santai ala cerpen. Keseluruhan kisah yang merangkai satu energi, yakni cinta, yang terbawa dalam pusaran waktu sewindu.

Semua tampak berbeda dari setiap karya yang diramu apik dalam kisah-kisah fiksinya, semua terasa lebih "bertutur" karena dalam Sewindu ia bernarasi tentang setiap jengkal episode dan wilayah hidupnya dalam kebersahajaan, kejujuran, bahkan kejenakaan.

Ia menjumpai banyak pribadi yang mengisi setiap ruang hidup dan pribadinya, dari masa kanak hingga usia matangnya dan bermetamorfosis menjadi seorang ayah saat ini. Bersinggungan dengan gempita dunia kampus dan komunitas yang digelutinya, bahkan ia memasuki riuhnya dunia kerja yang kompleks dalam arus gelombang yang bertumbuh.

382 pages, Paperback

First published January 1, 2013

Loading interface...
Loading interface...

About the author

Tasaro G.K.

32 books548 followers
Tasaro (akronim dari namanya, Taufik Saptoto Rohadi, belakangan menambahkan "GK", singkatan dari Gunung Kidul, pada pen-name nya) adalah lulusan jurusan Jurnalistik PPKP UNY, Yogyakarta, berkarier sebagai wartawan Jawa Pos Grup selama lima tahun (2000-2003 di Radar Bogor, 2003-2005 di Radar Bandung). Memutuskan berhenti menjadi wartawan setelah menempati posisi redaktur pelaksana di harian Radar Bandung dan memulai karier sebagai penulis sekaligus editor. Sebagai penyunting naskah, kini Tasaro memegang amanat kepala editor di Salamadani Publishing. Sedangkan sebagai penulis, Tasaro telah menerbitkan buku, dua di antaranya memeroleh penghargaan Adikarya Ikapi dan kategori novel terbaik; Di Serambi Mekkah (2006) dan O, Achilles (2007). Beberapa karya lain yang menjadi yang terbaik tingkat nasional antara lain: Wandu; novel terbaik FLP Award 2005, Mad Man Show; juara cerbung Femina 2006, Bubat (juara skenario Direktorat Film 2006), Kontes Kecantikan, Legalisasi Kemunafikan (penghargaan Menpora 2009), dan Galaksi Kinanthi (Karya Terpuji Anugerah Pena 2009). Cita-cita terbesarnya adalah menghabiskan waktu di rumah; menimang anak dan terus menulis buku.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
55 (25%)
4 stars
85 (38%)
3 stars
63 (28%)
2 stars
15 (6%)
1 star
1 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 42 reviews
Profile Image for Stebby Julionatan.
Author 15 books53 followers
May 9, 2013
SEWINDU: PENGENALAN TASARO AKAN MAKNA CINTA


Pada suatu titik, Sewindu: Cinta Itu tentang Waktu mengubah pandangan saya tentang penulis, tentang profesi Penulis. Dalam benak saya selama ini terpacak sebuah dogma bahwa penulis yang benar-benar penulis (baca: penulis yang bagus secara kualitas), haruslah orang yang serba “hebat”. Lulus dengan nilai cumlaude dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama, punya seabreg prestasi akademis yang menbuat nyinyir bibir siapapun, serta –prestasi sederhana yang paling terlihat adalah- punya posisi tawar yang tinggi di bidang pekerjaan yang pernah atau sedang ia geluti. Tapi ternyata saya salah. Saya (baca: lumayan) salah besar. Tasaro tidak termasuk bagian dari orang-orang yang hebat itu meskipun kita tahu banyak karya-karya hebat yang telah lahir dari guratan penanya.

Dia, Tasaro, hanyalah anak ndeso, asli Gunung Kidul. Tak punya prestasi yang tinggi-tingi amat saat sekolah, malah cenderung sering jadi korban bullying di SMP. Tasaro tak diterima di SMA Negeri, dia lulus SMA dengan nilai ijasah yang juga masih pas-pasan, nggak lolos UMPTN... dan lain sebagainya. Klop lah pokoknya. Apes banget si Tasaro ini. 

Rupanya menulis memang bukan soal tingginya prestasi yang kita miliki sebagai penulis, bukan soal banyaknya kata-kata aneh bin sukar yang bisa kita tuangkan dalam secarik kertas, kata-kata puitis yang serba gagap menyentuh batin. Menulis... (belajar dari pengalaman Tasaro), tulisan tulisan yang baik (baca: berkualitas) lahir dari kejujuran dan ketulusan untuk berbagi.

Sejak kecil Tasaro memang memiliki pandangan yang unik soal pendidikan. Soal sekolah. Menurutnya, sekolah bukan soal hapalan semata, bukan soal angka-angka semata... tapi lebih kepada pemahaman tentang kehidupan. Ini terlihat pada:


Sayangnya, standar pendidikan, apalagi belakangan, tertalu memuji otak kiri. Standar kepintaran anak diukur dengan angka-angka semata (pelajaran Matematika, pen.). Angka-angka yang entah kapan dipraktikkan. Maunya berbasis teknologi tapi praktiknya menghafal lagi-menghafal lagi. Sekarang dengan pemahaman akan realitas itu, saya jadi mengaerti, mengapa saya tidak tertarik dengan sekolah normal. Kecuali saat SD, karena dulu banyak sekali punya kawan. (hal. 290)


atau pada:

Terutama saya yang sejak kecil meyakini nilai rapor tidak akan pernah menentukan masa depan saya. Saya selalu yakin jauh di masa depan nanti akan ada ruang bagi orang-orang seperti saya. Orang-orang yang tidak terlalu suka dengan matematika. Hahaha” (hal. 291)



Alhasil, itulah kenyataannya. Tasaro berhasil menemukan (bahkan kini menciptakan) ruang bagi orang-orang sepertinya: Ruang bagi orang-orang yang tak suka matematika. Ya, seperti yang telah dijanjikanNya, Tuhan senantiasa memelihara orang-orang yang memeluk mimpinya. Orang-orang yang mau gigih berusaha. Mereka, yang mau berikhtiar untuk mewujudkan cita-citanya.

Sewindu, buku Cinta Itu tentang Waktu ini, adalah sebuah buku non fiksi yang semula diniatkan Tasaro dan istrinya, Alit, sebagai hadiah pernikahan bagi keponakan mereka, Dian. Buku non fiksi setebal 382 halaman ini terbagi dalam dua bab besar (Tasaro menyebutnya Bagian). Bagian Satu, bercerita soal pengalaman pada masa-masa awal pernikahan mereka, sedang Bagian Kedua adalah selang delapan tahun (sewindu) dari masa-masa penuh keriuhan tersebut.


Intinya sih, menceritakan keseharian kami setelah menikah. (hal. 158)


Dengan ilustrasi-ilustrasi indah nan penuh warna yang dibuat oleh Bayu, Tasaro bercerita mengenai hal-hal remeh seputar kehidupan delapan tahun pernikahannya. Bagaimana dia harus riwa-riwi antara Bogor-Cirebon, membagi waktu antara pekerjaan dan keluarganya, bagaimana dia akhirnya keluar dari Pondok Mertua Indah dan mendapati istananya senriri, bagaimana masing-masing mereka, Tasaro dan Alit, belajar menjalankan fungsinya (baca: tugas dan tanggung jawab mereka) sebagai suami istri, menantikan kelahiran putra pertama mereka, bersama-sama menghadapi kehilangan yang menyakitkan, menyaksikan tahap demi tahap bayi tersebut hadir dalam pelukan mereka, sampai pada soal bagaimana pendidikan anak-anak mereka kelak.

Hal-hal remeh yang sangat kontemplatif sebab Tasaro menuliskannya dengan penuh kejujuran.

Dari 36 bab yang disajikan, bab yang paling saya sukai adalah Dua Pemakaman. Meminjam istilah Kafka, bab tersebut sungguh seperti “kapak” yang menghantam “laut beku” dalam diri saya. Lama saya termenung setelah membacanya. Tergoncang. Tidak bisa tidur. Bagi saya pribadi, dalam bab tersebut Tasaro “mengajarkan” mengenai arti penting sebuah penerimaan. Tentang pemahaman bahwa kita ini hanyalah alatNya, alat dari semesta yang mestinya dipakai untuk selalu mengerjakan kebaikan. Tasaro mengajarkan pada saya akan arti kesiapan. Sebab siapa saja akan mengalaminya: Meninggalkan ataukah ditinggalkan.

Lebih lanjut, saya suka akan ide-ide Tasaro untuk menghadiahi buku bagi siapa saja yang memiliki hari istimewa. Saya juga suka idenya mengenai “1000 jamaah”. Kesederhanaan yang “luar biasa”, (sekali lagi) menurut saya.

Apakah kesemuanya luar biasa?

Memang.... harus jujur saya akui, tak kesemua bab berpendar luar biasa. Terkadang, dari 36 bab berisi hal-hal kecil seputar pengalaman hidup yang ingin Tasaro bagikan dengan kita sebagai pembacanya, ada bagian-bagian yang bagi saya terasa membosankan. Seperti pada Dia Mencintai yang Saya Cintai, lebih dari 5 halaman Tasaro teru- menerus bercerita soal kawan-kawannya. Kita disuguhi banyak nama teman-teman Tasaro (si A, si B, si C) yang muncul sekelibatan tanpa kita kenal jauh dan terlibat lebih dalam pada emosional tokoh-tokoh tersebut. Atau pada bab Kampoeng Boekoe, dimana Tasaro merasa perlu untuk menyajikan contoh leaflet yang dulu pernah dia bagi-bagikan kepada warga di kompleks perumahannya. Di titik ini saya merasa bosan dan melewatkannya.

Cinta... bagi banyak seniman ia adalah “amunisi” bagi karyanya. Termasuk Tasaro. Dalam Sewindu, cinta mengejawantah menjadi rentang waktu yang menguji komitmen mereka, Tasaro dan Alit, akan ikrar suci pernikahan. Sewindu, Cinta Itu tentang Waktu, adalah rentang waktu delapan tahun perjalanan pernikahan Tasaro dan Alit yang begitu mempesona.

Sebagai penutup (resensi ini), ijinkanlah saya mengutip kembali apa yang dituliskan Tasaro:

Sebab mencintai pada tingkat yang solid adalah komitmen. Terkadang, rasa terombang ambing dan membuat bimbang. Ada waktunya kata-kata mesra sudah terkunci dan sulit dikeluarkan lagi. Namun, ketika komitmen itu terjaga. Keinginan untuk membangun kehidupan yang berarti terus dijalani, itulah cinta. (***)

*) Stebby Julionatan adalah penyuka dan penikmat sastra yang tinggal di Jawa Timur.
**) resensi ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba resensi buku Sewindu karya Tasaro GK yang diadakan oleh Penerbit Tiga Serangkai. Informasi detail lomba resensi, silahkan klik di http://www.tigaserangkai.com/
Profile Image for Zahwa az-Zahra.
131 reviews21 followers
May 15, 2013
Saya masih ingat, pertengahan tahun 2010 lalu, buku berjudul "Ini Wajah Cintaku, Honey" menemani perjalanan saya menuju Baluran, Jawa Timur. Buku fiksi karya Tasaro GK yang pertama kali saya baca itu saya pinjam dari seorang kawan. Bahasanya yang mengalir dan interaktif membuat saya dengan mudah menyelesaikan buku tersebut sebelum kereta sampai di tujuan. Hingga kemudian, cerita tentang oseng-oseng daun pepaya menjadi cerita favorit saya.

Ah, beruntungnya saya ketika mengetahui bahwa kisah yang tertuang dalam buku Ini Wajah Cintaku, Honey dapat saya baca kembali lewat hadirnya buku Sewindu.

Awalnya saya menduga bahwa Sewindu merupakan kumpulan catatan harian pernikahan Tasaro dengan sang istri. Mungkin karena bagian pertama dalam buku ini lebih banyak bercerita tentang bagaimana mereka menjalani awal-awal pernikahan yang penuh warna-warni. Mulai dari kehidupan di Pondok Mertua Indah, perdebatan menu makanan, hingga pada peristiwa-peristiwa sederhana yang menjadi penuh kesan seperti saat Tasaro begitu terenyuh ketika mendapati sang istri menyetrika pakaiannya (Hei, bahkan saya terkesima sewaktu membaca kisah tentang bangganya ia saat namanya tertera dalam tagihan listrik ^^a)

Inilah yang bagi saya memberikan nuansa beda dibanding kisah-kisah pernikahan lainnya yang pernah saya baca. Semacam diary pernikahan rasa lelaki! Hehe... Gaya bercerita Tasaro yang renyahpun membuat buku ini menjadi semakin asyik untuk dibaca.

Delapan tahun ini, sebagaimana waktu mengubah dunia, saya kira, banyak pula pergeseran pemikiran dan orientasi hidup yang menyertai kami. Jika dulu, saat rumah tangga muda habis waktu untuk memikirkan bagaimana kami makan, memiliki tempat tinggal, atau berpakaian layak, kini ada kebutuhan lain yang lebih fundamental, di posisi mana kami berada di tengah-tengah masyarakat? Peran apa yang harus kami ambil? - hlm. 166

Kutipan di atas seolah menjadi pembuka kekeliruan saya akan buku ini. Ya, Sewindu memang tak melulu bicara soal kehidupan pernikahan Tasaro dengan Sang Istri. Pembaca akan diajak melihat kehidupan Tasaro yang lebih luas lagi. Kehidupan yang penuh akan cinta dari keluarga, sahabat, serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Bukan sekadar autobiografi, tapi juga tentang pelajaran hidup yang terpetik dari apa yang telah ia jalani.

Ada peran sebagai seorang suami yang mendampingi di masa senang maupun sulit. Sebagai ayah yang akan selalu mengawasi anaknya bertumbuh. Menjadi anak, menantu, tetangga, sahabat. Bahkan sebagai seorang diri yang akan terus berkarya dan bermanfaat bagi siapa saja.

Begitu banyak inspirasi yang dapat diserap dari buku ini. Hanya, saya pikir harga buku senilai Rp 82.000 ini terbilang relatif mahal. Saya sempat mengira-ngira, apakah yang membuat buku ini menjadi begitu mahal? Ternyata jawabannya ada pada ilustrasi berwarna yang diselipkan dalam beberapa halaman dalam buku ini. Okelah, cukup bisa mengurangi kebosanan akan warna huruf yang monoton. Tapi sebenarnya bagi saya tidak ada yang terlalu spesial dari ilsutrasi itu. Jadi, kalaupun dihilangkan, nggak masalah juga sih^^v

Sewindu, delapan tahun, adalah waktu yang bisa jadi lama atau sebentar. Tapi, bagi saya, itu rentang waktu yang cukup untuk menimbang cinta. Mengalami banyak hal bersama Mimi, menyikapi setiap permasalahan, mencari solusi, dan menjalani paket kehidupan yang berbagai-bagai warna dan rasa, memunculkan sebuah konklusi: cinta itu tentang waktu.
-Tasaro GK


Membaca Sewindu, boleh jadi akan membawa pembaca pada satu waktu untuk merenungi tahun demi tahun yang ia jalani bersama pasangannya. Berkaca kembali, sudah sejauh manakah peran diri di dalam keluarga dan lingkungan membawa kebermanfaatan. Pun bila belum memiliki pasangan, buku ini tetap layak dibaca karena akan memunculkan gambaran pernikahan visioner. Yang setiap waktunya dipenuhi cinta.

Selamat membaca!

.
.
.


"Di mana lagi aku temui pendamping hidup semacammu?"

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Resensi Sewindu karya Tasaro GK
yang diselenggarakan oleh Penerbit Tiga Serangkai
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews79 followers
January 7, 2018
SEWINDU

KALAU Anda diberi hidup sampai sebuah pernikahan yang berjalan sewindu (dan tentu, dengan kuasa Tuhan, masih akan terus), apa yang Anda pilih untuk diceritakan?

Tidak semua orang punya jawabannya; tidak semua orang seperti Tasaro. Pertengahan tahun 2013 ia selesai menulis Sewindu—biografi yang dicetak dalam halaman-halaman memikat oleh Penerbit Metagraf dari Tiga Serangkai.

Tasaro akan menjawab, pertama-tama, dengan kisah tentang seorang anak dari pegunungan gersang di selatan Pulau Jawa, yang membelah tomat dari kebun dan menambahi gula lalu menyeruput sarinya kalau tak ada air bersih. Yang berbeda dari masa kecil itu ketimbang masa sekarang adalah: ia bisa leluasa makan nasi putih ditambah garam tanpa merasa miskin, dan tak sungkan-sungkan memakai pakaian bekas saudara.

Saya kira menarik: tanpa merasa miskin—mungkin juga berarti selalu bahagia. Dengan membawa perasaan semacam itu Tasaro hidup berpindah-pindah mengikuti ibunya, dari kontrakan ke kontrakan. Barangkali karena itu perkembangan akademisnya tidak terlampau baik. Nilai ujian akhir Tasaro tegolong pas-pasan, sampai-sampai tidak ada SLTA negeri di kota yang mau menerimanya.

Tapi dia bahagia: anak ini percaya kepada buku—seumur hidupnya. Ibunya yang seorang kepala sekolah membuat ia dengan mudah menikmati buku-buku di perpustakaan sekolah kapan saja. Ia menyebut kegiatan membaca buku dengan “pesta”—pesta sendirian, tentu, karena di kampung jarang ada anak yang gemar membaca. Karya yang paling ia ingat, sebuah cerita dari negeri Prancis: Pangeran Kecil (dalam bahasa Prancis: Le Petit Prince) karangan Antoine de Saint-Exupéry. Bagian yang paling berkesan dalam cerita itu: gambar mirip topi yang dibuat sang “Aku”. Sang “Aku” kemudian mencari komentar orang-orang dewasa, apakah takut atau tidak. Semua orang dewasa menjawab “tidak”, sebab itu hanya gambar topi. Maka “Aku” memperjelas bagian yang menggelembung dalam gambar. Di situ digambarnya seekor gajah. Rupanya gambar itu tidak sesederhana sebuah topi. Ada bayangan yang lebih mengerikan: gambar seekor gajah dalam perut ular boa. Dan karena itu Tasaro menyukainya: sebuah fragmen dalam Pangeran Kecil itu menawarkan khayalan yang tak terbatas bagi hal-hal terbatas yang dimiliki lelaki cilik itu.

Tapi menyukai buku sejak kecil bukan jaminan ia terlatih dalam membaca kitab. Ia memang cukup sukses menuai apa yang dilakukan sejak kecil dengan menjadi wartawan, tapi ia juga penuh sesal. Salah satu yang disesali Tasaro adalah ia baru belajar hijaiyah pada umur 22 tahun. Dan terlambat mencintai Muhammad (nama seorang Nabi itu bersliweran dalam hidupnya, tapi tidak pernah nyantol). Toh saya kira ia punya keberanian yang patut dipuji: dalam kondisi itu ia menikah. Meskipun dalam pernikahan itu Tasaro menyadari bahwa dirinya adalah suami yang “tak ahli dalam pekerjaan laki-laki”. Ia, misalnya, tak pandai dalam “mengisi tangki kompor dengan minyak, mencangkul halaman yang tak rata, memasang lampu, membersihkan kamar mandi, memeriksa loteng”. Barangkali cinta yang membuatnya menempuh apa yang tak biasa itu.

Saya tak heran: Tasaro seorang wartawan yang sibuk. Saya menduga ada korelasi antara seorang yang selama hidupnya membaca dan menulis, dalam profesi apa pun yang terbiasa memegang pena (yang beratnya tak sampai satu ons, saya kira) daripada memanggul cangkul. Kemampuan sehari-hari yang lemah itu masih ditambah kenyataan bahwa istrinya tidak pandai memasak. Yang lebih genting dan spesifik: istrinya tidak mau masak daun pepaya kesukaan Tasaro karena rasanya cuma pahit. Itupun masih ditambah, di awal-awal pernikahan, mereka menempuh badai klise sebuah rumah tangga: problem keuangan yang membuat keduanya berhari-hari memiliki menu utama tempe, sambal, dan lalap sawi. Tasaro, yang lambat laun mulai mengenal Islam lebih baik, dengan berat hati juga menghadapi kenyataan tak mampu membelikan baju gamis dan kerudung lebar untuk istrinya yang memang relatif mahal. Apa yang dialami, singkatnya: “lugu, apa adanya, mencari-cari bentuk, dan limbung sana-sini”.

Tasaro mengenang tahun-tahun sulit itu dengan bahagia. Bagi Tasaro, ia pernah lebih miskin. Atau agaknya kita terlanjur sering melihat kenangan pahit sebagai nostalgia indah, mungkin karena sebuah konsep bahwa segala yang pahit itu ada enaknya—seperti daun pepaya bagi Tasaro. Atau kita mengenang dengan bahagia, sebab kita membayangkan sebuah deklarasi: kami telah melewati saat-saat bahagia, dan saat-saat pedih dan benci, dan sampai kini masih bersama. Pada halaman 78 Tasaro menulis bahwa “memahami kekurangan suami atau istri adalah sebuah fase mencengangkan. Sedangkan, menerima kekurangan itu kemudian mengusulkan kompromi logis untuk sebuah perbaikan adalah sebuah tahap yang spektakuler”.

Yang menarik dari Sewindu adalah gaya penceritaannya yang tidak menimbulkan kesan menyebarkan aib satu rumah tangga—meskipun Tasaro sempat mengaku malu. Ia memasukkan sebuah cerita di mana sang istri marah, tapi hanya diam—padahal, menurut pengamatan Tasaro, jelas-jelas lagi jengkel. Ia juga memasukkan cerita, di halaman-halaman akhir sebuah bab, saat istrinya melihat foto-foto milik suami, dan mengecek mana wanita yang dulu menyukai suaminya.

Barangkali dengan begitu Tasaro tidak terkesan menggurui: dalam dirinya terdapat banyak cela yang membuatnya tidak bisa sombong. Tasaro membuktikan sebuah idealisme yang dianutnya, pada halaman 240: “ide yang menyamar menjadi cerita yang mengalir dan tidak menggurui”. Saya kira ia berhasil. Ide-idenya menyusup: mungkin diam-diam ini adalah cerita banyak orang. Dan diam-diam menghapus keraguan tentang bayangan pernikahan awal yang tak sempurna (yang terpendam di hati-hati orang yang belum menikah).

Tentu cerita Tasaro tidak berhenti dalam lingkup kecil rumah tangga. Setelah agak lepas dari problem-problem dasar pernikahan yang menjadi perhatiannya pada bagian pertama, rumah tangga kecilnya mulai diarahkan untuk fokus pada perkembangan masyarakat. Dengan gigih ia mengajak masyarakat menanam palawija (“meskipun bangkrut luar biasa”, katanya), merintis sekolah PAUD, melatih ketrampilan para ibu, dan membuat anak-anak agar terbiasa meminta dongeng sebelum tidur.

Kita tahu pekerjaan Tasaro belum akan selesai. Sewindu bukan waktu yang terlampau panjang, atau terlampau singkat.
Profile Image for Salza Puspitasari.
74 reviews5 followers
October 13, 2019
"Sebab, Pencipta dan roh manusia seperti halnya matahari dan pancaran cahayanya. Kembali pada Pencipta adalah kerinduan, bukan kehilangan. Seperti musafir yang pulang ke kampung halaman."
Sewindu, Cinta Itu Tentang Waktu. p178.

Setiap baca buku, saya selalu baca Kata Pengantar terlebih dahulu, jadi sudah bisa mengira bahwa tulisan di setengah bab awal dan setengah bab akhir dibuat di periode waktu yang berbeda.

Waktu berbeda, pengalaman pun berbeda. Tulisan di setengah bab awal, seperti yang Mas Tasaro sendiri bilang, terkesan "cheesy". Enjoyable sih, tapi banyak saya lompati karena gaya menulisnya berbeda banget dengan Mas Tasaro yang pertama saya kenal dari "Kinanthi" dan "Tetap Saja Kusebut (Dia) Cinta". Tapi begitu sudah masuk gaya penulisan yang sekarang, air mata saya meleleh deras saat membaca bab Dua Pemakaman. Tidak pernah terbayang rasanya kehilangan seorang Ibu, apalagi dua orang Ibu dalam waktu yang berdekatan.

Cukup menghibur untuk sebuah "auto-biografi" sewindu pernikahan, dan membuat saya tertarik untuk mengikuti series "Muhammad" setelah ini.

Sukses dan bahagia selalu untuk keluarga Tasaro 🙏🏿
Profile Image for novi a. puspita.
115 reviews16 followers
October 30, 2020
Semacam otobiografi penulisnya, yakni Tasaro GK. Dari buku ini baru saya ketahui dari mana asal nama pena tersebut. Hehe.
***

Kisahnya inspiratif. Dikisahkan awal mula berumahtangga, suka-duka, pelik dan kenikmatan mengurai masalah & mencari solusinya. Terkadang kocak, dibuat haru, yang pasti pembaca akan terinspirasi atau tertular semangat membangun 'peradaban' yg tidak jauh dr buku-buku.

Sempat kaget juga, rentang waktu yg ditulis dalam buku ini bukannya runut dari tahun awal sampai sewindunya (halah masa iya juga..)
Yg ada justru dr tahun-tahun awal lantas melompat ke tahun menjelang sewindu.
Tapi oke, buku ini masih asyik untuk dinikmati.
***

Sang penulis sendiri menurutku cukup melankolis, jadi buat pembaca wanita akan dibuai dg tutur kalimatnya. Hampir-hampir mendambakan punya pasangan hidup sepertinya. Haha. Tapi, point pentingnya adalah apa-apa saja yg dikisahkan dlm buku ini menginspirasi & menggerakkan hati kita untuk senantiasa berakhlak mulia.
Profile Image for Risna Ristiana.
42 reviews6 followers
May 16, 2013

Tampaknya, cinta adalah satu-satunya hal yang tak pernah habis menjadi perbincangan sampai kapanpun. Termasuk bagi si juru dongeng dari Gunung Kidul, Tasaro GK. Pria kelahiran 1980 yang sempat berkarir sebagai jurnalis ini menginvestasikan perjalanan dan pengalamannya yang dihiasi berbagai macam wajah cinta dalam sebentuk buku kisah bertajuk “Sewindu: Cinta Itu Tentang Waktu”. Bagi Tasaro, cinta adalah energi pembangun yang mampu membuatnya mencoba hal-hal baru, bekerja berkali lipat lebih keras, bersabar lebih banyak, dan bermimpi lebih tinggi. Cinta pulalah yang mampu membantu Tasaro melewati setiap tanjakan, turunan, dan tikungan dalam hidupnya.

Cinta Adalah Energi Pembangun Yang Tak Ada Habisnya

Sewindu merupakan karya Tasaro dengan style berbeda. Tak seperti karya lainnya yang berupa fiksi dan kaya imajinasi, buku ini seperti autobiografi yang menceritakan detail kehidupan Tasaro dalam membina rumah tangga dan menemukan mimpinya. Tasaro percaya, detail kehidupan yang ia paparkan dalam buku ini bukannya membuaka aib hidupnya, malah, kisah perjalanan hidupnya akan bermanfaat bagi manusia lain.

Buku setebal 382 halaman yang terbagi dalam dua bagian ini membawa pembaca menelusuri keseharian Tasaro GK dan istrinya selama delapan tahun bersama. Pada bagian pertama, pembaca disuguhkan kisah Tasaro saat masih menjadi pasangan muda. Dengan bahasa yang santai, pembaca diajak melihat perjuangan Tasaro membangun sebuah keluarga dari nol, tanpa bekal apa-apa selain rasa percaya. Bahkan pembaca dibuat tersenyum-senyum membaca berbagai kisah sederhana yang kerap dialami keluarga baru, dimulai dari kehidupan di rumah mertua, persiapan menempati rumah baru dan membagi tugas membersihkan rumah, sampai pertengkaran kecil Tasaro dan istrinya perihal makanan, namun tetap dilandasi cinta beribu rupa.

Tak hanya itu, kisah-kisah penuh pengorbanan, kesabaran, dan perjuangan juga tertuang pada bagian pertama buku ini. Pembaca dibuat terlarut dan ikut merasakan masalah-masalah yang dihadapi Tasaro. Dimulai dari sulitnya ekonomi padahal banyak kebutuhan yang semakin mendesak untuk dipenuhi, tulisan-tulisan yang tak pernah diterima penerbit padahal ia tak punya keahlian lain, sampai keharusan mengimami keluarga walaupun ilmu agamanya tidak seberapa.

Pembaca, terutama saya, banyak belajar tentang toleransi, tolong menolong, peduli sesama, dan bantu membantu dalam kisah-kisah di bagian pertama ini. Misalnya, ternyata ada hal-hal yang harus kita bina dan dijaga dengan baik dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dalam berkeluarga, sepasang suami istri tidak bisa memaksakan pendapat satu sama lain, harus ada satu jalan keluar yang bisa terbaik untuk keduanya. Begitu pula dengan kehidupan bermasyarakat, hendaknya kita bisa saling membantu, karena kita takkan bisa hidup jika tak ada bantuan dari orang lain.

Berbeda dengan bagian pertama, pada bagian kedua, Tasaro lebih fokus pada kisah-kisah yang dialaminya setelah delapan tahun pernikahannya. Disini pembaca diajak melihat mimpi dan cinta Tasaro untuk orang-orang terdekatnya. Cinta untuk istri, anak, ibu, dan sahabat-sahabatnya. Tasaro mengajarkan pembaca bahwa manusia pastilah akan menemukan cinta yang menguatkannya, mengalami kejadian yang merubah hidupnya, mendapatkan sesuatu yang membuatnya hidupnya lebih bermakna, bahkan kehilangan sesuatu yang akan menambah keimanannya.

Pada bagian ini jugalah, ada banyak kisah yang membuat saya berhenti membaca barang sejenak untuk menyeka derasnya air mata. Salah satunya adalah ketika Tasaro dan istri membuat sebuah tujuan masa depan bernama “proyek 1000 jamaah”, dimana mereka bercita-cita ingin disholatkan oleh 1000 jamaah karena cinta dan doa jika mereka meninggal nanti. Saya menangis membacanya, bahkan ketika menuliskan resensi ini. Kenapa? Karena hal ini mengingatkan saya, apa tujuan sebenarnya saya hidup di dunia. Untuk mencari ketenaran atau mengumpulkan amal sebagai bekal kehidupan nantinya. Saya tidak pernah benar-benar memikirkannya sampai saya membaca buku ini.

Kisah lain yang membuat saya menangis sejadi-jadinya adalah tentang mimi yang harus kedua kali kehilangan bayinya, pun ketika Tasaro dan istri harus kehilangan ibu mereka pada saat yang hampir bersamaan. Kehilangan orang tersayang, merupakan sosok yang menakutkan bagi setiap manusia. Bagi saya yang cukup sentimentil, membaca bab-bab ini membuat saya merenung lebih lama. Apa yang sudah saya berikan untuk ibu? Sudah siapkah saya ketika beliau pergi nanti? Setiap manusia memang akan kembali padaNya, pertanyaannya, sudah siapkah kita?

Sebab, mencintai pada tingkat yang solid adalah komitmen.

Manusia pastilah mempunyai mimpi yang tak sedikit. Mimpi itulah yang kita tanam, kita pupuk dengan cinta, dan waktu akan memberikan kita hasilnya kelak. Gambar pohon dengan berbabagai macam buahnya di cover buku ini, cocok sekali dengan kalimat tersebut. Kita tak akan bisa memetik hasil yang tak dilandasi kecintaan terhadap mimpi itu sendiri.

Tasaro, melalui buku ini, telah membantu membukakan mata saya. Saya akhirnya sadar bahwa waktu saya di dunia hanya sebentar, namun ternyata ada begitu banyak kewajiban yang belum saya sempurnakan, ada begitu banyak cinta yang belum saya rasakan, dan ada begitu banyak mimpi yang belum saya wujudkan. Ya, semoga kita masih punya waktu.

Sebab, keinginan untuk membangun kehidupan yang berarti, itulah cinta.
Profile Image for Nike Andaru.
1,508 reviews102 followers
August 3, 2018
Cerita pernikahan Tasaro hingga sewindu, 8 tahun di tahun 2012.

Selalu menarik membaca cerita pernikahan dari awal yang gak tau apa-apa soal rumah tangga, menjadi suami, lalu menjadi bapak dan berbagai cerita yang mengikutinya, punya rumah sendiri dsb dsb.

Gak cuma itu Tasaro juga menceritakan banyak soal kegiatan menulisnya, buku-buku yang pernah dia tulis. Karena banyak bukunya sudah saya baca, jadi saya merasa lebih dekat dengan cerita-ceritanya dalam buku ini.
April 19, 2022
karya pertama Tasaro G.K. yang saya baca dan sebelumnya saya tidak tau jika beliau ini penulis buku Lelaki Penggenggam Hujan.

Di buku Sewindu ini penulis banyak menceritakan kisah hidupnya. Seperti ingin mengejar ketebalan buku, penulis banyak menyalis status facebook nya di dalam buku ini.
Profile Image for Riapurwanti Jamin.
123 reviews8 followers
May 22, 2017
wow, tahapan hidupnya, cita-cita buat generasi selanjutnya, sampai apa yang mau dibawa buat hari tua dan menyambut kematiannya inspiring. Sederhana tapi ngena. Dalem.
Profile Image for Swety Retna.
138 reviews10 followers
June 6, 2013
Another great work of Tasaro GK :)
kenal Tasaro lewat bukunya Muhammad 1 dan 2, dan selalu menunggu triloginya. Sementara menunggu, buku ini terbit, dan entah karena saya pecinta true story/non fiksi atau memang karya ini brillian, saya suka banget. Menceritakan suka duka hidup pengantin muda, keluarga baru dengan segala kesederhanaannya. Kehidupan ala Tasaro yang baru aku tahu setelah membaca buku ini, bagaimana hiruk pikuknya mengelola keluarga kecil dengan uang seadanya, dan berhasil menempuh semua itu dengan bahagia meski tidak mudah.
Sebelumnya memang saya tidak menyangka tapi, ternyata Tasaro juga orang yang baru-baru belajar Islam dengan kaffah, baru-baru mengenal Islam dan mencintai Islam. Aku tahu gegap gempitanya, perasaan membuncahnya mengenal Islam dan semangat mempelajarinya, karena itu juga yang aku rasakan, maka entah bagaimana, pemikiran-pemikiran Tasaro sejalan dengan saya.
Ada beberapa kalimat yang saya take note di buku ini, salah satunya:
"Konsep 'tercelup' dalam praktik keseharian ketika seseorang sudah 'sepakat' untuk menjalankan syariat Islam secara total, buat saya, sungguh bukan hal sederhana. Terkadang, justru ketika konsekuensi 'tercelup' itu menyngkut hal-hal sederhana. Saya justru lebih mudah memahami bahwa konsekuensi 'tercelup' dengan 'tinta' Islam kaffah artinya berhenti berbohong, berhenti korupsi (hingga ke bentuk yang sekecil-kecilnya), berhenti bergunjing, berhenti merokok, belajar menertibkan ritual ibadah, memperbaiki bacaan Al-Qur'an, mulai memperbanyak hafalan, dan hal-hal 'putih' lainnya".
saya impressed banget dengan kalimat ini, kalimat yang selama ini saya cari-cari dalam kamus otak saya, yang saya tak bisa temukan kata-kata tepat untuk menggambarkannya, yaitu konsep Islam kaffah menurut pandangan idealis saya terutama diri saya saat berhadapan dengan kehidupan sehari-hari, baik di kantor maupun dirumah.
bukankah kata-kata itu sederhana, tapi menjalankannya sungguh luar biasa berat, contoh saja berhenti bergunjing, ya bolehlah dicoba, sehariii saja tidak bergunjing, beratnya menahan mulut agar tak bicara, telinga agar tidak mendengar, karena saya pernah mencobanya dan masih terus belajar sampai detik ini! Alhamdulillah ada hasil meskipun ini bagaimanapun adalah pembelajaran setiap detik seumur hidup!
tapi betapa nikmatnya taat... tak bisa tergantikan kepuasannya...
Kebanyakan impian Tasaro dan cara ia hidup memang aneh dipandang orang, tapi bagi saya masuk akal, sangat mudah diterima, bahkan saya berpikir untuk hidup sedemikian rupa, tak jauh bedalah, meskipun saya sekarang ini PNS tapi keinginan 'resign' dalam benak saya menggebu-gebu meskipun dalam dunia PNS hampir tidak ada kamus itu, meski mungkin-mungkin saja, jika direstui orang tua.
Secara umum, buku ini menginspirasi, khususnya untukku, sungguh :)
bagi siapapun, yang akan memulai sebuah pernikahan dengan modal pas-pasan, perlu membaca buku ini. Harus disadari bahwa terkadang kebahagiaan itu bukan melulu kesenangan, tapi juga kesusahan yang dipikul bersama-sama juga merupakan kebahagiaan yang bernilai. bahagia memang tidak selalu sederhana, karena butuh mental baja dan keyakinan, asalkan disana ada sedikit alasan yang mungkin terdengar klise, yaitu cinta :)
jangan pernah bilang, "memang bisa hidup dengan cinta saja?makan tuh cinta!", memang benar, kita tak bisa makan cinta, tapi tanpa itu, rasanya semua hal jadi mustahil :)
Profile Image for Hapudin.
255 reviews6 followers
September 27, 2016
Buku ini merupakan rekam jejak penulis pasca ia menikah sampai 8 tahun ke depan. Berbagai masalah rumah tangga dilalui dalam sikap yang bersahaja dan santun. Pembaca, terutama pria, akan dijejali pelajaran yang kelak akan sangat berguna ketika di fase setelah menikah.
Profile Image for Ida Mawadah.
46 reviews11 followers
June 13, 2013
Dari beli bulan mei, dan selesai mbaca, baru sempat membuat reviewnya
Buku ini masih bertemakn umum, tidak jauh dari masalah cinta. Eits, tapi jangan diartikan klise dan disamakan dengan novel picisan. Cinta di sini oleh author di usung dari segi yang sedikit berbeda, yang tidak melulu tentang cinta-cinta pada umumnya, dan dijamin tidak membosankan dan bisa dijadikan refleksi (menurut saya)
Membaca buku ini, benar-benar menyentuh. Rasanya campur aduk. Benar-benar memberi banyak pelajaran tentang kehidupan berumah tangga. Banyak hal-hal sederhana, yang mungkin sepele, tapi justru menjadi hal yang menarik. Mungkin bagi pasangan yang mau menikah, bisa direkomendasikan buku ini.tapi tidak ada salahnya juga untuk yang sudah menikah.

Dalam buku ini diulas segala kesederhanaan dalam mencintai, dalam berumah tangga, tentang penantian, pengertian, dan toleransi ketika hidup bersama. Segalanya dituturkan secara cermat dan menarik. Bag sayau, yang justru menarik adalah bagaimana seorang istri atau suami, otomatis memutar haluan, dimana saat mereka sudah tidak sendiri alias sudah berumah tangga. Beberapa percontohan dituliskan secara rinci pula. SEorang istri yang dengan sejumlah uang yang diberikan suami, harus berusaha menjaga rotasi uang, agar dapur tetap mengepul dan semua kebutuhan terpenuhi. Saya jadi meraba diri, kapan saya bisa memulai untuk melakukan penghematan itu semua? mengatur keuangan secara terperinci, meskipun sekarang posisi belum berumah tangga, jadi kepikiran. ya mungkin sedikit membuktikan bahwa rezeki selalu ada dikala orang sudah berumah tangga, dalam segala kesulitan apapun. Yap Innallaha ma'ana. Ahh, pokoknya paket lengkap deh dalam buku ini. Seneng rasanya membaca buku ini, merasa nggak rugi. Jujur ini adalah buku Tasaro pertama yang saya beli dan saya suka. maaf kalau reviewnya sedikit gamang, kalau mau tau gimana bagusnya, silahkan dibaca sendiri, hehe
Profile Image for Dian.
Author 20 books34 followers
April 23, 2013
Tamat!

Buku Sewindu : Cinta itu tentang waktu, karya Tasaro Gk.
Penerbit Metagraf – imprint Tiga Serangkai.

Buku ini menggonjang-ganjingkan hatiku. Bolak-balik perasaanku dimainkan.

Di halaman persembahan tertulis : “Untuk Alit Tuti Marta : Masih kutunggu oseng-oseng daun pepaya itu…” awalnya, tak memberikan reaksi apa pun padaku, kecuali berpikir “ini nama istri Tasaro, kah?”

Tapi, setelah menamatkan buku ini, maka membuka halaman pertamanya membuat aku cengar-cengir geli sendiri.

Aku bersyukur Tasaro tak mengubah “cara menulisnya” untuk bab Pertama, karena dibuat 8 tahun lalu. berarti usianya belum 25 thn? Aku seperti berkenalan dengan pria muda yang baru menikah dan senang mengenang dunia barunya.

Senyumku selalu tersungging, termasuk perihal oseng-oseng daun papaya itu.

Mataku berair, hatiku menangis, ketika perihal kehadiran anak menjadi tema tulisan.

Kepalaku mengangguk tanpa dikomando, membaca perjuangannya menjadi kepala rumah tangga, penulis “pemula” termasuk kisah pendidikannya.

Cengiranku muncul di sana-sini, ketika kekonyolan demi kekonyolan ditulisnya.
Namun,

Memasuki bab ke dua, aku terhipnotis dengan diksi ala Tasaro GK Juru Dongeng yang selama ini memang memikat.

Efeknya juga parah, aku ikutan ngikik ketawa di bagian buka kartu, ikutan terenyuh dan terharu perihal anak-anak dan sahabat. Puncaknya aku beneran jadi cengeng dan menangis deras di beberapa bab, terutama di Dua Pemakaman, Tujuh Dasawarsa dan yang paling menguras airmataku adalah di Tiga laki-laki.

Sebuah buku yang jujur bicara tentang universalnya cinta.

Aku beruntung memiliki buku ini, berikut tanda tangan si empunya cerita.

Love it … and it is a must read book, terutama buat pengantin baru juga..:) buat kado keren lhooo…
Profile Image for Mobyskine.
1,029 reviews153 followers
September 2, 2013
Terasa bertuah mendapatkan naskah ini. Mungkin kerana asalnya saya cuma merasa ini sebuah novel cinta klise yang biasa saja. Namun tatkala membelek-belek saya mulai tersedar yang buku ini sebenarnya kutipan kisah-kisah pendek yang disusun berangkai mengikut perjalanan hidup seorang Taufik Saptoto Rohadi- merangkumi pelbagai cerita tentang dunia kerja dan penulisan, keluarga dan sahabat, isteri dan anak-anak yang secara kasarnya diaduk dalam dua rasa- cinta dan rindu.

"Terlafaz hamdallah untuk sebuah tulisan yang setiap kalimatnya membuat jeda air mata dan doa."

Saya seakan belajar tentang hidup ketika membaca patah-patah bahasa Tasaro. Banyak juga tulisan di buku ini yang saya suka. Boleh dikatakan hampir kesemua di Bagian Satu punya adegan dan kisah menarik- tidak terbayangkan mempunyai hidup sesederhana Tasaro. Malah terasa mereka amat beruntung daripada yang punya harta dan kaya-raya. Saya suka membaca kisah kedua-dua anak Tasaro, Sena dan Daeza- paling tak terlupa catatan panjang di halaman Facebook Tasaro (yang ditulis buat isterinya) yang dimuat sekali di bagian kisah ini. Jujur dan indah sungguh kata-katanya.

"Di mana lagi aku temui perempuan semacammu?
Tilawahmu tidak terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar kepadaku.
Tapi, di mana lagi aku temui perempuan seikhlasmu?
Wajahmu tak cantik melulu, masakanmu pun tidak lezat selalu.
Tapi, katakan kepadaku, di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu?
Kau bahkan tidak biasa berbicara mewakili dirimu sendiri, dan acap menyampaikan isi hatimu dalam bahasa yang tak terkata-kata.
Demi Tuhan, tapi aku benar-benar tidak tahu, ke mana lagi aku mencari perempuan seinspiratifmu?" (excerpt)

4 bintang bersinar.
Profile Image for Aira Zakirah.
167 reviews8 followers
September 26, 2022
Sebab mencintai pada tingkat yang solid adalah komitmen. Terkadang, rasa terombang ambing dan membuat bimbang. Ada waktunya kata-kata mesra sudah terkunci dan sulit dikeluarkan lagi. Namun, ketika komitmen itu terjaga, keinginan untuk membangun kehidupan yang berarti terus dijalani, itulah cinta. (Tasaro GK)
.
Buku kumpulan cerita yang sarat makna. Tentang perjalanan panjang menapaki bahtera kehidupan yang selalu menuntut kesabaran di setiap ujian yang datang silih berganti. Bahwa memperjuangkan sesuatu
butuh ketabahan sepaket dengan kesyukuran yang melimpah agar bahagia tetap bisa kita cicipi, sekalipun kehidupan sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Demikianlah hidup; suatu waktu kita akan dibawa pada fase yang terasa begitu mengenaskan. Seperti yang dituliskan Abah dalam buku ini, bagaimana perjuangannya melewati sewindu yang dipenuhi ujian dengan berbagai cerita sederhana yang kadang membuat saya tersenyum membacanya, sesekali malah terharu, bahkan di satu bagian saya harus menjeda dengan air mata.

Setiap lembarnya adalah pengalaman sehari-hari yang ditulis dengan sederhana, tapi cukup membuat pembaca merenungkan banyak hal tentang hubungan sepasang manusia yang selalu membutuhkan kompromi, saling memahami.

Abah Tasaro menuliskan banyak hikmah yang bisa dipetik dari suka duka sebagai seorang Ayah, anak, suami, sahabat hingga sosok yang dikenali banyak orang sebagai penulis. Seluruhnya adalah pengalaman hidup yang menguji keteguhan dan komitmen sebagai seseorang yang bertanggungjawab atas
pilihan-pilihannya.

Dari buku ini saya merasa lebih mengenal Abah (Panggilan akrab kami di keluarga T(j)inta ) sosok inspiratif yang memberikan banyak pelajaran lewat serangkaian pengalaman pribadi yang ditulisnya.

Sewindu: cinta itu tentang waktu.
32 reviews
January 1, 2014
Membaca buku ini seperti menyaksikan setiap kejadian penting dalam hidup Tasaro. Saya suka konsepnya yang memampangkan tulisannya apa adanya sesuai waktu ketika ia melaluinya. Maksud saya, dia (katanya siiih) tidak memugar kembali tulisan2nya saat awal2 menikah dg istrinya, atau saat2 susah ketika istrinya dinyatakan keguguran. Kesannya jadi lebih hidup.

Banyak lagi yang ia ceritakan. Tentang suka duka menjadi penulis, tentang pengalaman tidak mengenakkan menjadi pembicara di salah satu univ yang mengharuskannya terlunta-lunta hampir tidak jadi pulang karena kereta dari Jkt ke Bandung penuh (menurut saya ini bagian yg paling lucu, yang tidak berhenti membuat saya tertawa, sekaligus juga introspeksi diri sbg mahasiswa yang sering juga jd panitia di kegiatan2 tertentu), tentang pilihannya ketika menjadikan penulis sebagai profesi satu2nya (alias tidak lagi ngantor), tentang ibunya, tentang belajar mencintai ayahnya, tentang sahabatnya, tentang proyek Kampoeng Boekoe nya (saya suka banget), tentang anak2nya.

Tapi yang paling saya sukai adalah ketika masa-masa sulitnya bersama istrinya. Di halaman awal2 cerita2nya hampir selalu sukses mebuat mata saya berkaca-kaca. Mencintai dalam kesederhaan. Begitupun ketika istrinya harus berjuang di 2 keguguran. Ya Allaah... Sungguh wanita memang diciptakan utk kuat.

Begitulah. Membacanya seakan membaca blog seorang sahabat. Bahkan saya dapat merasakan usianya saat menulis bab demi bab. Berbeda-beda. Terkadang ada yang dengan emosi menggebu-gebu, terkadang polos dan lugu, dan terkadang terasa sangat dewasa. Ini menjadikannya semakin berwarna.
Profile Image for Putri.
27 reviews4 followers
November 18, 2015
Dapat berkah buku gratis setelah sebelumnya bertemu penulisnya langsung sehari sebelumnya itu rasanya bak dapat durian runtuh :D Apalagi setelah tahu bahwa buku ini cukup pricey buat kantong saya (meskipun masih di bawah 100 ribu), semakin bersyukur lagi :D

Anyway, dari cover dulu, buku ini dikemas dengan tema warna hijau (bahkan t-shirt promonya pun juga hijau) dengan gambar pohon, buat saya sih cukup menarik secara visual buat yang suka warna-warna cerah macam ini :)

Baca-baca di dalamnya, buku ini memuat perjalanan kehidupan bang Tasaro, termasuk kehidupan pernikahannya sama sang istri, pekerjaan serta mimpi-mimpi masa depan yang dirajut bang Tasaro dari rumah di kaki bukit itu. Dan membaca kisah kehidupan berarti pula kita akan menemukan berbagai hal, suka duka, senang, berjuang, karena seperti itu kehidupan. Why sewindu? Karena buku ini memuat kisah Tasaro yang ditulis, tebak, 8 tahun sebelum buku ini dirilis, saat Tasaro tengah merintis karir, juga pernikahannya.

Di buku ini ada 2 part kalau boleh saya bilang, part tulisan dari 8 tahun sebelumnya, dan dari update tulisan yang sekarang. Entah ini saya aja yang ngerasain, saya lebih suka ceritanya saat 8 tahun yang lalu, entahlah, mungkin karena gaya tulisannya sedikit berbeda. Terlepas dari itu, saya cukup suka buku ini karena dia bisa membawa kita ke dalam kehidupan seorang Tasaro, dan belajar, bahwa kehidupan bukan hanya terdiri dari 1 part, ada banyak part-part yang kita alami, susah senang, kocak, dan segala macam rasa lainnya, yang semuanya itu harus kita jalani dan hadapi dengan sebaik-baiknya kita :)
Profile Image for Kiki.
20 reviews2 followers
January 23, 2015
Mengalir dan sederhana. Begitulah setiap kata merangkai kalimat yg menyusun novel ini. Sesederhana kehidupan sang penulis, juga sesederhana makna cinta di kehidupan yang ia tuangkan dalam novel ini.

Novel sewindu ini bercerita tentang kehidupan sang penulis pada 8 tahun awal pernikahannya. Mulai dari perjuangan ia dan istrinya dalam bertahan sebagai keluarga baru di tengah keterhimpitan materi, perjuangan mencari tempat tinggal sendiri dan hidup mandiri sampai dengan masalah anak. Perjuangan yang dimaknai sebagai sebuah anugrah dan kebahagiaan yg patut disyukuri.

Selain itu, gaya penulisan yang interaktif dan jujur membuat kisah lainnya tak kalah menarik untuk disimak hingga tuntas. Misal, tentang kariernya yang dirintis melalui profesi pertama sebagai wartawan, editor, hingga akhirnya memutuskan utk resign dan memilih profesi penulis. Tak kalah menarik juga cerita tentang perjuangan penulis dalam mendirikan Kampoeng Boekoe serta suka dukanya menjadi penulis terutama terkait novel Muhammad yang berhasil melejitkan namanya.

Saya sangat suka membaca cerita kehidupan orang lain. Menurut saya, banyak hal yang bisa diperoleh dari sharing kehidupan setiap orang. Salah satunya seperti pada novel ini, banyak nilai-nilai kebersahajaan dan perjuangan dalam hidup yang bisa saya teladani. Begitu pula ceritanya yang memberikan banyak pemahaman baru untuk saya mengenai kehidupan khususnya pernikahan dan profesi sebagai penulis yg penuh tantangan dari sudut pandang yang berbeda :)
Profile Image for Linda Satibi.
38 reviews39 followers
September 5, 2013
Boleh dibilang, buku ini komplet. Ia membuat tersenyum, tertawa, hingga berderai air mata. Meski ada beberapa bagian yang sepertinya tidak perlu ikut serta. Semisal tulisan yang diambil dari note facebook berjudul “Penulis! Glamour atau Bersahaja?”, “Pembicara, Fee, dan Panitia”, “Generasi Kedua”. Bukan tersebab buruk, toh di dalamnya tetap lebat hikmah yang ranum untuk dipetik, namun membuat bagian tersebut menjadi terlalu berpanjang kata. Soal urutan kisah pun terasa ada yang ngaclok. Kisah ke-10 pada bagian satu, berjudul “Tempe, Sambal, dan Lalap Sawi” akan lebih pas bila ditaruh sebagai kisah ke-6.

Dengan cover berwarna hijau manis, bergambar sebatang pohon kehidupan dihiasi delapan daun berbentuk lambang cinta, buku ini merupakan buku inspiratif yang lezat dan bergizi. Ditulis dengan bahasa yang segar, mengalir, diiringi sentuhan yang mengharu biru. Tasaro GK dalam karya perdana di ranah non fiksi, tidak kalah mengasyikkan dengan buku-buku fiksinya yang selama ini memikat banyak pembaca.

Yang paling menyentuh adalah kisah tentang Bapak. Bagaimana Tasaro bisa mendamaikan hati dengan Bapak yang telah meninggalkan keluarga selagi usia remaja? Mengapa ia sulit menemukan catatan menyenangkan, indah, damai, untuk dikenang antara dirinya dan Bapak? (halaman 348) Inilah bagian yang paling menggedor jiwa.
Profile Image for Halida Hanun.
325 reviews12 followers
June 6, 2013
sewindu adalah sarana "perkenalan" saya dengan Tasaro GK. beberapa kali pernah membaca namanya di linimasa twitter tapi baru kali ini sempat berkenalan. itu pun karena saya kepincut sama cover buku ini, serta tagline-nya "cinta itu tentang waktu".

awalnya saya kira buku ini berisi tentang puisi atau prosa-prosa nan puitis. tapi pas sampai rumah, saya baca lagi sinopsisnya ternyata tentang kisah penulis selama 8 tahun berumah tangga. saya suka isinya. terutama bagian satu yang menceritakan tahun pertama pernikahan penulis. banyak banget yang bisa dipelajari. pelajaran bagi yang belum atau baru akan atau baru saja berumah tangga.

saya juga suka sama pemikiran, cita-cita, serta pandangan hidup penulis. dan perkenalan ini memberikan kesan yang baik. yang bikin saya ingin membaca dan mengoleksi karya lainnya dari mas Tasaro yang sudah diterbitkan. ingin membaca dan mengambil pelajaran lainnya. :)
Profile Image for Erna Yuli.
46 reviews
June 23, 2013
Tasaro yang terkenal lewat trilogi Muhammad baru saya kenal lewat buku ini..
Buku ini termasuk gress sekali ya, terbitan 2013..
Buku ini berisi tentang kisah anyata kehifupan pribafi seorang Taufik..
Hihihihi, iya saya baru tau klo nama asli Tasaro adalah Taufik..

Kisah perjuangan hidup nya mampu menginspirasi..
Prmikiran dan idealismenya menyemangati..
Keterbukaaannya akan pemahaman agama melecut semangat saya..
Kesederhanaannya mampu mengingatkan saya..
Penggambaran sosok pribadi dari sudut pandangnya atau sudut pandang temannya mampu membuat saya merasa dia memang nyata dan bukan Rekaan, asli nyata..
Profile Image for Dede Muharoom.
39 reviews5 followers
February 22, 2014
Sewindu berisi tentang semacam catatan Tasaro selama sewindu pertama bersama istrinya.

Buku ini mengajariku bagaimana cinta itu begitu sederhana, bagaimana menemukan kebahagiaan di rumah tanpa gorden, nikmatnya tempe, sambal, dan lalap sawi, kebijaksanaan dalam pertengkaran, dan kehadiran anak diantara mereka.

Selain tentang istrinya, Tasaro juga bercerita tentang kehidupannya dalam dunia tulis menulis, impiannya membudayakan membaca di daerah kompleknya.

Kesenanganku memang membaca kisah hidup orang lain, seakan berbagi cerita sesama teman lama.

Aku menyukai buku ini kuharap kalian juga menyukainya :)

Profile Image for Haniva Zahra.
385 reviews43 followers
February 22, 2014
Buku ini secara umum menceritakan tentang bagaimana penulisnya menjalankan pernikahan hingga tahun ke delapan. Beberapa bagian membuka mata saya dan membuat saya akhirnya sadar, bahwa kehidupan pernikahan adalah tentang perjuangan untuk saling memahami, sambil bekerja keras untuk kemapanan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Membaca buku ini membuat saya semakin percaya, bahwa ada kekuatan besar yang selalu membantu kita ketika terjebak dan kesulitan, karena janjiNya yg bilang bahwa tidak ada kesulitan di luar kemampuan hambaNya.
Profile Image for potrehkoneng.
31 reviews4 followers
June 12, 2013
buku ini dibagi menjadi dua bagian. entah kenapa saya lebih suka yang bagian-bagian pertama. ketawa-ketawa sendiri di kamar. sambil bilang oooo... jadi gini ya kehidupan orang-orang di awal nikah. dan marakke pingin segera nikah. eh. hehe.

dan di bagian buku dua terharu baca tulisan tentang sahabatnya tasaro sejak jaman smu-kuliah-bahkan sampe kerja juga bareng.

sekian. nanti dilanjut di blog saja yang review versi panjang.
103 reviews1 follower
June 22, 2013
akhirnya selesai juga baca buku ini. saya dapat 'Sewindu' dari teman yang sama-sama suka Tasaro. awalnya saya kira ini novel barunya, ternyata ini kumpulan catatannya selama sewindu berumahtangga.
dari buku ini saya mengenal sosok wanita yang menjadi istri Tasaro, semakin membacanya jadi semakin menyukai sosoknya, makanya waktu ada catatan lain yang bercerita selain sosok istrinya itu saya jadi agak ga sabar pengin cepat-cepat kembali ke cerita tentang istrinya.
Profile Image for fayza R.
226 reviews58 followers
February 27, 2014
inspire enough to wake my dreams up.
apa ya, banyak 'benang' tak terlihat yang menghubungkan, perjalanannya dari nol smpe kayak sekarang bisa jadi pelajaran bgt.
entah kenapa, emang universe ini konspirasi bgt ya. Allah ga sedang bermain dadu kalo ada yg berhubungan, ga ada yg kebetulan, pun ketika kita ngundang beliau kemaren dan tetiba tangan saya bawa buku ini ke kasir 2 hari yang lalu.
soon di blog (lagi) review ver lengkap hoho
Profile Image for Khuzaima.
34 reviews13 followers
July 24, 2014
Sukaaa~
Waktu membeli buku ini agak ragu, tapi rekomendasi salah satu teman yang ngefans sekali (kayaknya) sama Tasaro membuat akhirnya membeli buku ini, dan saya tidak menyesal :)
Menceritakan kehidupan-perjuangan seorang Tasaro dan istrinya dalam mengarungi rumah tangga, mumbuat saya (yang belum mengarunginya) jadi belajar banyak hal tentang cinta :)
Dan bab terakhirnya, bikin senyum - senyum sendiri dengan kata - katanya, hahaha.
Happy reading :)
Profile Image for Hairi.
Author 3 books19 followers
April 20, 2013
Bagus banget.

Inspiring.

Setiap pernikahan punya tantangannya masing-masing. Tapi jangan juga takut melangkah dalam sebuah pernikahan. Hehehehe... Nikah itu asyik kok. Enelan :)

Membaca buku ini rasanya nano-nano. Aku terkikik geli, tersenyum, serasa ditampar juga mewek dan kemudian tersedu2 sendiri. Wkwkwkwk... Lagi mellow aja sih waktu itu :)
Profile Image for Kumala Desi.
5 reviews2 followers
February 28, 2014
Sewindu, Cinta Itu (Akhirnya) Tentang Waktu
Ini bukan sekedar cinta yang berbunga, namun kudapati perjuangan, keberanian untuk memutuskan, penantian, kerinduan, kehilangan, dan keseriusan untuk menjadi keluarga yang bernilai. Bernilai untuk masyarakat, bernilai untuk peradaban.
Memamntapkan hati, bahwa setiap orang bisa memberikan kontribusi, menjadi batu bata penguat peradaban.
Profile Image for Asdar Munandar.
150 reviews4 followers
June 6, 2014
Membaca dunia kepenulisan. Buku ini memberikan kita banyak pemahaman. bahwasanya menulis bukan tentang siapa dan apa yang ditulis. menulis adalah seutuhnya tentang hati. Hatilah yang tergerak dan terpanggil untuk menulis.

dan resapilah hasil karya hati dari seorang Tosaro

4 bintang untuk buku ini.

Nice Story
Displaying 1 - 30 of 42 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.